Perkenalkan Nama Saya Warsidi…
Tulisan ini menceritakan tentang kisah nyata seorang perantauan yang jauh dari keluarga demi sebuah kehidupan yang lebih baik bagi keluarganya. Sebuah perkenalan yang serba kebetulan dengan tokoh dalam tulisan ini pada saat saya menemani salah satu staf KBRI Suva dalam menangani kasus terlantarnya beberapa orang anak buah kapal (ABK) asal Indonesia. Berikut adalah kisahnya :
Perkenalkan namaku Warsidi, 30 tahun seorang pelaut kapal Taiwan. 18 bulan dari 36 bulan masa kontrak kerja hidup di laut.
Baru hari ini aku bisa mendarat di Pelabuhan King Wharf, Suva, Fiji. Senang rasanya aku bisa menjejakkan kaki ke daratan kembali. Tanpa menunggu waktu, aku segera menelpon keluarga di Majalengka. Aku berharap sekali akan ada kegembiraan bercampur kerinduan pada saat mendengan suara ibu dan anak perempuanku. Karena aku yakin mereka telah menganggapku hanya tinggal nama setelah 18 bulan tanpa kabar berita.
Baru hari ini aku bisa mendarat di Pelabuhan King Wharf, Suva, Fiji. Senang rasanya aku bisa menjejakkan kaki ke daratan kembali. Tanpa menunggu waktu, aku segera menelpon keluarga di Majalengka. Aku berharap sekali akan ada kegembiraan bercampur kerinduan pada saat mendengan suara ibu dan anak perempuanku. Karena aku yakin mereka telah menganggapku hanya tinggal nama setelah 18 bulan tanpa kabar berita.
Betapa senang aku mendengar suara ibuku yang penuh kasih sayang dan tanpa terasa air mataku keluar. Begitu pula dengan ibuku yang tidak bisa berkata apa-apa selain menangis tersedu-sedu. Tetapi rasa haru dan kegembiraan sirna dalam sekejap setelah bicara dengan adik perempuanku.
Ternyata istriku telah lama kembali ke tanah air. 4 bulan setelah keberangkatanku ke Taiwan, dia kembali dari Arab Saudi dalam kondisi hamil 8 bulan.
Dan sekarang telah lahir seorang anak laki-laki berumur hampir 2 tahun tanpa diketahui siapa bapaknya. Sebelum aku berangkat, istriku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi selama 2 tahun.
Dan sekarang telah lahir seorang anak laki-laki berumur hampir 2 tahun tanpa diketahui siapa bapaknya. Sebelum aku berangkat, istriku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi selama 2 tahun.
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, hidupku terasa hampa. Makin bertambahlah derita yang menimpaku. Cobaan apalagi yang Allah berikan kepadaku. Sudah 18 bulan aku bekerja tanpa digaji karena pemilik kapal beralasan kalau gajiku telah dikirim ke agenku di Jakarta. Sementara aku mendapat kabar, agenku telah lama tutup alias bangkrut. Belum lagi kondisi mata kananku yang sudah tidak normal karena terkena sabetan tali penarik ikan pada saat badai menerjang kapal kami di wilayah Kepualaun Solomom. Lengkaplah penderitaanku.
Saat ini yang aku pikirkan bagaimana caranya agar aku dan teman-teman bisa pulang ke tanah air. Walaupun aku dan 5 orang teman yang satu agen belum mendapatkan kepastian tentang nasib kami di Fiji. Untungnya KBRI membantu kami dalam penyelesaian masalah ini dan menyediakan kebutuhan pangan sehari-hari. Tetapi kami masih tinggal di kapal yang sedang berlabuh dan akan segera masuk dok untuk perbaikan mesin.
Selama itulah hidup kami bergantung. Setelah kapal selesai diperbaiki maka kami harus meninggalkan kapal dan siap-siap untuk hidup menjadi gelandangan di negeri orang.
Selama itulah hidup kami bergantung. Setelah kapal selesai diperbaiki maka kami harus meninggalkan kapal dan siap-siap untuk hidup menjadi gelandangan di negeri orang.
Kegalauan hati masih menggelayuti pikiranku. Aku terus memikirkan bagaimana nasib anak perempuanku yang kutinggal berlayar. Aku tahu ibu dan adikku yang merawat dan menjaganya hingga saat ini. Karena sejak isteriku pulang dari Arab Saudi dan telah berbadan dua, dia tidak tinggal lagi di rumah ibu. Mungkin dia malu dengan kondisinya. Inilah yang kutakutkan karena secara psikologis anak perempuankan tidak mendapatkan lagi kasih sayang dari orang tuanya.
Bapaknya entah dimana, sementara ibunya tidak mau menemuinya. Oh Tuhan, apakah ini karma dari perbuatan kami sebelumnya? Aku hanya bisa berdoa sepanjang malam dan memohon pengampunan atas dosa-dosa kami selama ini.
Bapaknya entah dimana, sementara ibunya tidak mau menemuinya. Oh Tuhan, apakah ini karma dari perbuatan kami sebelumnya? Aku hanya bisa berdoa sepanjang malam dan memohon pengampunan atas dosa-dosa kami selama ini.
Hari yang kami tunggu-tunggu tiba. Setelah 3 minggu kami terdampar di Fiji dan hidup tanpa uang sepersenpun, seorang staff KBRI, agen dan kapten kapal datang menemui kami. Mereka menyampaikan kabar bahwa besok jam 4 pagi, kami akan dijemput oleh travel yang mengurus kepulangan ke Indonesia. Hari itu juga kami disuruh untuk meninggalkan kapal dan akan diinapkan di sebuah hotel dekat pelabuhan.
Bagaimana dengan gaji kami ? Alhamdulillah telah terjadi kesepakatan antara KBRI, agen dan pemilik kapal bahwa selain tiket pesawat, kami akan mendapatkan uang secukupnya sebagai pegangan selama perjalanan ke tanah air dan pulang kampung dari bandara Soetta. Walaupun tidak sesuai dengan yang kami harapkan (gaji tidak dibayar penuh) tetapi kami bersyukur karena bisa pulang ke tanah air. Kami menyadari bahwa inilah hasil negosiasi optimal dari KBRI karena kesalahan sebenarnya bukan pada agen dan pemilik kapal asal Taiwan. Tetapi agen di Jakarta yang kabur membawa uang gaji kami yang seharusnya dikirimkan ke keluarga selama berlayar. Sungguh orang-orang yang tidak punya hati dan mampu hidup di atas penderitaan dan keringat orang lain. Biarlah Tuhan yang akan menghukum mereka.
Anakku, Bapak akan pulang. Mohon maaf Bapak dan Ibu telah menelantarkanmu. Bapak berjanji setelah ini tidak akan meninggalkan kamu. Bapak akan bekerja keras agar bisa membahagiakanmu
Demikian kutipan cerita seorang pelaut indonesia di kapal taiwan untuk pembaca blog Berita Kapal.
Demikian kutipan cerita seorang pelaut indonesia di kapal taiwan untuk pembaca blog Berita Kapal.
0 Response to "Cerita seorang pelaut kapal Taiwan"
Posting Komentar