Lari dari Konflik, Bertahan dengan Air Hujan
Kisah Puluhan Imigran Sri Lanka yang Terdampar di Lautan Lepas
Menyabung nyawa dengan mengarungi laut lepas demi menghindari konflik etnis di negara sendiri, adalah pilihan pahit yang harus ditempuh puluhan imigran Sri Lanka yang terdampar di perairan Samudera Hindia. Selama 28 hari mereka terombang-ambing di perairan laut internasional di Mentawai.
Para imigran gelap ini duduk berkumpul dengan wajah lusuh di salah satu ruangan di Mess Soeratno, Jalan Raden Saleh, Padang. Setelah empat minggu di lautan, mereka tampak tak terurus. Kumis dan jambang menjadi panjang tak terurus, wajah kusam dan bau laut melekat pada tubuh mereka.
Keletihan tergambar di wajah mereka. Walaupun begitu, terpancar harapan untuk menjalani kehidupan baru di negeri orang.
Sekelompok imigran lainnya terlihat berdiskusi menggunakan bahasa Sri Lanka. Kepada Padang Ekspres, salah seorang di antara mereka yang bisa berbahasa Inggris menceritakan sedang membicarakan nasib mereka ke depan.
Dia adalah Yobithan R, 20. Di sudut lainnya, beberapa imigran terbaring lemah karena diare.
Ketika Padang Ekspres menghampiri sekolompok imigran, mereka langsung terpana. Ternyata, mereka hendak meminta rokok dan meminjam handpone untuk menghubungi keluarganya di Sri Lanka.
Yobithan didampingi Brigadir Dedi Arisandhi, anggota PAM Obvit Polresta Padang, mengisahkan, selama 28 hari ia bersama awak kapal M.V AL Shuwaikh terombang-ambing di Samudera Hindia, antara parairan Malaysia dan Thailand karena kerusakan mesin. Mereka akhirnya terdampar di parairan laut Indonesia, tepatnya 219 mil sebelah barat Sipora atau 291 mil dari Padang.
Selama 28 hari mereka bertahan dengan bekal makanan seadanya. Pada hari ke-20, seluruh bekal makanan habis, termasuk air minum.
Di benak mereka, bayangan kematian semakin dekat menjemput. Selain lapar, mereka harus melawan ganasnya gelombang setinggi 4 meter. Belum lagi lambung kapal yang bocor, memaksa mereka mengeluarkan air secara bergantian.
Mereka harus menampung air hujan dengan peralatan seadanya. “Jika hujan kami menampung air hujan dengan panci, gelas dan benda lainnya agar kami bisa minum,” ujar pemuda yang memiliki kembaran ini.
Mujur, setiap kali berpapasan dengan kapal lain, mereka diberikan logistik. Salah satunya kapal New Orleans-Rickmers milik Rumania. “Sang kapten kapal pun sempat meneteskan air mata ketika melihat kondisi kami. Selain Kapal New Orleans, ada Nave Casiopia dan Kuwait Ship,” ungkap pria yang mengaku sempat kuliah di jurusan sains di salah satu universitas di Sri Lanka.
Hari berganti minggu, sebagian mereka mulai terserang diare, penyakit kulit, campak, dan demam. Yobithan R nekat meninggalkan Sri Lanka mencari kehidupan baru karena Kota Batticaloa terjadi kerusuhan, ketakutan, penculikan, pembunuhan, dan perampasan hak asasi manusia (HAM).
“Kaum laki-laki selalu diteror dan dipaksa mengikuti wajib militer. Jika tidak mau akan diteror, diculik, hingga akhirnya dubunuh. Selain itu, warga yang keluar pada malam hari akan dicap teroris, diculik dan dipenjarakan tanpa diadili, bahkan ada yang langsung dibunuh,” jelasnya.
Banyak warga lainnya punya niat serupa. Saat ini banyak warga mempersiapkan keberangkatan meninggalkan Sri Lanka dan mencari suaka ke Australia. “Kami ingin tinggal di suatu pulau yang aman, dan menerima kami, baik itu di Indonesia maupun di Australia,” ujar anak dari Rajaa Ratnam A sembari menatap langit-langit ruangan.
Kapten kapal mereka adalah Vijani Ranjithlal KA kendati hanya mengerti teknis kapal. Tujuan utama pelayaran tersebut Australia karena banyak warga Sri Lanka hidup aman dan damai di sana.
Kepala Kantor Imigrasi Padang, Elfinur mengatakan, biaya hidup para imigran ditanggung NGO kemanusiaan, IOM. “Apakah imigran itu akan dideportasi, tergantung UNHCR,” jelasnya. (***/mg18)
0 Response to "Lari dari Konflik, Bertahan dengan Air Hujan"
Posting Komentar