Lelaki muda itu berdiri di tepi jalan. Tempat di mana para gadis pelinting rokok bergegas pulang dari pabriknya. Lagaknya pemuda tanggung, dia memang punya niat: menggaet salah satu dari mereka. Benar saja, lelaki muda itu sukses memperistrikan Repi, gadis belia nan cantik kelahiran Jawa Timur. “Saat itu Repi masih berumur 13 tahun. Saya 15 tahun. Hanya butuh waktu tiga bulan untuk syah sebagai suami istri. Saya berani datang ke rumah keluarganya” kenang pria berumur 72 tahun itu kelahiran Pulau Salemo, salah satu pulau dalam wilayah administrasi Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan.
Pulau yang konon merupakan tanah kelahiran beberapa ulama top Sulawesi Selatan.
Itulah salah satu bagian dari episode asmara Syamsuddin, kakek yang kini menghabiskan masa tuanya di Pulau Kapoposang, Pangkep. Kapoposang ditempuh antara 4-5 jam dari Makassar dengan kapal kayu atau 2 jam dengan speedboat cepat.
Dia sedang leyeh-leyeh di atas balai bambu. Mengenakan kopiah warna hitam, bersarung dan berbaju putih dia menerima saya dengan seyum mengembang. Nyiur di sekitar kami memberi suasana nyaman. Angin timur bulan Agustus terasa adem.
Kakek Syam yang jangkung, berhitung mancung dengan sorot mata terang adalah mantan pelaut. Dia berkulit hitam dengan kerutan kulit yang sangat jelas. Giginya putih rapat. Gigi palsu.
Pelaut adalah satu profesi yang sangat dibanggakan oleh warga pesisir berbahasa Bugis-Makassar utamanya pulau-pulau. Mereka, para pelaut dari jazirah Sulawesi Selatan yang mendiami pesisir barat Sulawesi dikenal tangguh dalam mengarungi samudera luas karena memegang prinsip, sekali berlayar pantang surut ke pantai.
Selain cekatan, mereka dikenal pula flamboyan dan royal dalam pergaulan. Mereka toleran dengan solidaritas yang tinggi. Tidak sedikit dari mereka bahkan benam dalam kehidupan asmara yang bergelora. Dari pelabuhan ke pelabuhan, dari pesisir ke pesisir, dari wanita satu ke wanita lainnya.
Bertemu Syamsuddin, kakek kelahiran Pulau Salemo serasa diantar mengikuti narasi tentang pelaut sebagaimana disebutkan di atas.
“Tahun 1975 saya bawa timah dari Bangka dengan kapal milik orang Tionghoa, namanya Waleang. Nama kapalnya KM Sumberjaya. Muatannya kira-kira 40 Ton. Kru di kapal itu sebanyak tujuh orang dan berasal dari Buton” katanya lancar.
Syamsuddin ingin bilang bahwa dia adalah pelaut yang telah jauh melanglang buana dengan pengalaman segudang.
Syamsuddin Muda
Syamsuddin muda pindah ke Surabaya dengan mengikuti pelayaran dari Pulau Salemo ke Surabaya. Lamanya lima hari lima malam. Naik pinisi, perahu khas Bugis.
“Saya ke Surabaya saat masih muda, umur 15 tahun. Saat itu ada pembakaran kampung di Salemo oleh segerombolan pasukan. Mereka membakar pulau hingga ke daerah Liukang Tupabbiring. Saya menumpang di kapal Haji Bennu” ungkap kakek bersaudara empat orang ini dari ayah bernama Laside dan ibu bernama Halijah.
Ada yang membuatnya berbinar saat saya sampaikan kakek Syamsuddin gagah dan pasti banyak pacarnya dulu.
“Istri pertama saya orang Jawa Timur namanya Repi. Dia pekerja pabrik rokok Dji Sam Soe. Saat itu umurnya 13 tahun, saya 15 tahun” kisahnya. Syamsuddin hanya butuh tiga bulan sebelum memutuskan untuk menikahi gadis pujaannya itu.
“Pertama kali saya melihatnya saat saya berdiri menunggu para pekerja paberik rokok pulang ke rumah. Nah di situlah saya lihat calon istri saya” kenangnya dengan senyum mengembang. Sayang sekali tidak lama setelah menikah dia bertolak ke Jakarta. Dia tinggalkan Repi.
Syamsuddin jadi karyawan di perusahaan milik warga asal Pulau Salemo. Pengalamannya menjadi anak buah kapal memberinya banyak pengetahuan. Dia semakin tahu lika-liku pelayaran dan pengelolaan ekspedisi.
“Saya bekerja pada Haji Mustamin, dia orang Salemo yang menerima saya bekerja di perusahaanya bernama PT Pulau Salemo” katanya.
Di Jakarta, dia menghabiskan waktu hampir dua tahun. Kerjanya mengurus surat-surat berlayar termasuk mengatur pengangkutan kayu dari Kalimantan menuju tanah Jawa.
Syamsuddin hanya terkekeh saat ditanyakan petualangannya selama bekerja di Jakarta.
Dia kemudian pindah lagi ke Surabaya dan bekerja pada perusahaan ekspedisi bernama Firma Hajar. Selama menjadi ABK atau karyawan usaha ekspedisi Syamsuddin berkenalan dengan seorang pengusaha Tionghoa bernama Waleang.
“Saya kenalnya di Muntok. Lalu dia percayakan saya membawa kapal barang. Mengangkut timah dan hasil bumi dari Kalimantan” katanya.
Kapal itulah yang digunakan oleh Syamsuddin membawa barang hingga ke Singapura. Sebelumnya, Syamsuddin telah berlayar dari pesisir di Kalimantan, Sulawesi, Jawa hingga Sumatera. Basisnya di Surabaya. Dari sinilah dia bertahan lama dan menjadi pelaut hingga kemudian pensiun.
Masih tentang Asmara
Dalam perjalanan hidupnya, Syamsuddin mengaku pernah menikahi Jumanten, gadis Jawa Timur, tepatnya Madura. Dari istrinya inilah dia peroleh Halijah dan Junaedi. Kedua anak ini pernah mencarinya ke Pulau Salemo.
“Saya masih ingat nama kampung istri saya itu, di Kampung Talong Baraleke. Madura” katanya.
Mengenai perkawinannya yang sampai lima kali itu, Syamsuddin menjawab, karena mau sama mau. Tidak ada paksaan.
Saat saya tanyakan nama istrinya yang lain, dia hanya terkekeh. Dia tidak bisa mengucapkan nama istrinya yang lain. Yang pasti dia kini bahagia menemani istrinya Rappe dan anak-anaknya.
Syamsuddin, Cerita Pelaut dari Pulau Salemo
0 Response to "Syamsuddin, Cerita Pelaut dari Pulau Salemo"
Posting Komentar