Warta kota/yp yudha
Sebutan Nyai, Pergundikan zaman Batavia
Tidak semua jejaka Eropa di Batavia mampu menikahi anak-anak perempuan yang terbiasa hidup mewah itu. Sebagian besar jejaka itu bekerja sebagai pelaut atau pegawai rendahan VOC. Mereka tak mungkin dapat membiayai rumah tangga dengan banyak budak, apalagi membelikan perhiasan dan pakaian mewah untuk istri-istri berdarah Belanda yang dibesarkan di Batavia!
Bagaimana dengan gelora dan darah lelaki Belanda yang mendidih oleh panasnya matahari di khatulistiwa? Sebetulnya tidak ada jalan lain kecuali mencari "kasih-sayang" dalam pelukan perempuan pribumi.
Sampai sekarang belum ditemukan dokumentasi mengenai pelacuran di Batavia. Barangkali memang pada masa itu belum ada pelacur pribumi. Kehadiran budak-budak perempuan yang terpaksa pasrah menemani tuannya, di tempat tidur meniadakan kebutuhan akan pelacur. Karena budak-budak itu sudah tinggal di bawah satu atap, pergundikan muncul dan terjadi begitu saja.
Sebetulnya, Gubernur Jenderal di Hindia Belanda, Jan Pieterszoon (JP) Coen, yang rajin ke gereja, melarang praktik pergundikan (lihat Reggie Baay. De Njai: Het Concubinaat in Nederlands-Indie. Amsterdam: Athenaeum-Polak & Van Gennep. 2008). Ia dan para pejabat tertinggi di Batavia mendukung perkawinan antara pria Eropa dan perempuan Eropa atau perempuan berdarah campuran.
Namun, pada masa itu perempuan-perempuan berkulit putih yang dapat dinikahi hanyalah anak-anak perempuan pejabat. Jumlahnya tak banyak dan mereka sudah terbiasa pula dengan kehidupan mewah yang disediakan oleh Pappienya.
Larangan JP Coen merepotkan juga karena sebagian besar warga Batavia merupakan pegawai-pegawai rendah dan serdadu miskin. Mereka tak mampu menikahi seorang perempuan (Indo)-Eropa. Walaupun ketika itu, perkawinan lelaki Eropa dengan perempuan pribumi juga direstui. Namun, mereka harus mendapatkan izin dari atasannya untuk menikah.
Bila perempuan yang hendak diperistri merupakan budak, ia harus dibebaskan dulu dari belenggu perbudakan itu dengan membayar tunai kemerdekaannya.
Budak perempuan, calon pengantin itu, harus pula beragama Kristen atau secepatnya dibaptis di gereja. Dalam waktu yang singkat, budak perempuan yang menikah dengan tuannya tidak hanya mendapatkan suami baru, ia juga memperoleh agama dan nama Kristen yang baru pula!
Seperti kupu-kupu yang keluar dari kepompong, si Iyem tiba-tiba menjadi Katrientje! Ia juga diharuskan belajar bahasa Belanda, tetapi dalam praktiknya, suami-isteri anyar itu lebih banyak berbahasa Melayu. Logis pula. Siapa yang masih bisa bercumbu dalam bahasa asing bila cinta sedang bergelora?
(frieda.amran@yahoo.com, pendiri Wariss: Warisan Insan di Selatan Sumatera)
0 Response to "Dilarang Pelihara Gundik!"
Posting Komentar