Perahu jukung Efendi Soleman saat memasuki pelabuhan nelayan Tanjung Batu Pemangkat, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (6/9/2013)
KOMPAS.com – Effendy Soleman (62) telah membuktikan bahwa kapal tradisional Indonesia masih bisa berlayar jauh. Dari Bali hingga ke Brunei, Pendi, begitu ia akrab disapa, melakukan pelayaran tunggal menggunakan kapal tradisional jukung pada 2013 lalu.
Kisah pelayaran tunggal Pendi kemudian dituangkan ke dalam buku berjudul Jukung Lintas Nusa: Bali – Brunei 2013, Cerita Pelayaran Tunggal Effendy Soleman, ditulis oleh Heryus Saputro. Buku tersebut akan segera beredar pada 28 April 2014 nanti.
“Dalam buku ini pembaca tidak hanya menemukan kisah-kisah pribadi Effendy, namun juga informasi sosial dan budaya di sepanjang rute pelayarannya,” tutur Hery pada Selasa (22/4/2014) di Depok.
Sebagai contoh, di Tuban, masih terdapat kebiasaan masyarakat setempat yang mengonsumsi ampo, semacam steak yang terbuat dari tanah liat. Di Rembang, Jawa Tengah, terdapat situs kapal paling tua di nusantara yang tidak banyak diketahui orang-orang. “Selama pelayaran, Pendi juga memahami kawasan pesisir yang ia singgahi, baik dalam hal sosial maupun budaya,” ujar Hery.
Menurut Pendi, buku ini bisa menjadi salah satu sumber mengenai kebaharian Indonesia ketika kita cenderung hanya terperangah sekaligus kagum melihat kapal-kapal tangguh dan modern berseliweran bebas di laut nusantara. Kita bangga karena mampu membeli kapal buatan orang lain, untuk berlayar kemana-mana, tanpa berpikir lebih dalam bagaimana dulu nenek moyang kita membangun sendiri kapal-kapal tangguh untuk menjangkau belahan dunia.
Selama empat bulan pelayaran, Pendi tidak hanya melihat nyatanya keindahan bahari Indonesia dan mempelajari keragaman budaya di daerah-daerah yang ia singgahi, namun juga kejadian buruk seperti hampir tenggelam di lautan, hingga terserang penyakit yang sempat menghambat pelayarannya.
“Saat di Bondowoso, perahu saya pernah hampir tenggelam karena bocor. Saat di Belitung, saya sempat sakit malaria dan dianjurkan dokter untuk kembali ke Jakarta. Begitu juga saat di Pontianak, saya sakit dan harus kembali lagi ke Jakarta,” kenang Pendi.
Selama di perjalanan pun banyak orang yang tidak percaya bahwa kapal kecil jukung lah yang menjadi temannya melintasi samudra. “Mereka pikir saya bule nyasar yang menggunakan kapal besar, lalu turun menggunakan kapal kecil ke daratan,” ceritanya.
Tidak hanya itu, Pendi juga bercerita bahwa dirinya pernah dicurigai sebagai mata-mata oleh pihak Malaysia. "Karena selama di Pontianak saya ke mana-mana menggunakan kendaraan Angkatan Laut, jadi mereka pikir saya adalah mata-mata sehingga masalah perizinan saat masuk Malaysia dipersulit," ujar Pendi. Meski begitu, pada akhirnya Pendi mampu menyelesaikan pelayarannya hingga ke Brunei.
Kini, perahu jukung yang digunakan Effendy untuk pelayarannya ditinggalkan di Brunei Darussalam sebagai kenang-kenangan. Menjadi bukti bahwa pernah ada kapal tradisional Indonesia yang mampu berlayar hingga ke sana.
sumber : http://travel.kompas.com/read/2014/04/23/1125543/Kisah.Pelayaran.Effendy.Soleman.dari.Bali.ke.Brunei.Dibukukan
0 Response to "Kisah Pelayaran Effendy Soleman dari Bali ke Brunei Dibukukan"
Posting Komentar