ANAK muda ini berdarah Betawi tapi lahir di Palembang. Istrinya orang Pontianak. Satu tahun terakhir ia bekerja sebagai kepala ruang mesin di kapal yang berlayar di kawasan Teluk, Timur Tengah, hingga Oslo di Eropa, dan Kenya di Afrika Selatan.
Kapal itu kecil saja. Panjang sekitar 70 meter. Total anak buah kapal (ABK) sekitar 20 orang, sudah termasuk perwira kapal dan rating (staf).
Masih muda, sekitar 30-an. Gajinya sekitar 2.000 dolar AS (kurang dari Rp 20 juta rupiah) sebulan. Di Indonesia, ini gaji kebanyakan direktur.
Di kapal luar negeri, gaji sebesar itu untuk perwira kapal semacam kepala mesin atau mualim. Gaji kepala kapal atau nakhoda sekitar sembilan ribu dolar (kurang dikit jadi Rp 90 juta).
Saya bertemu anak muda itu di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, dalam perjalanan Jakarta-Doha (Qatar), Senin (2/7/2012) malam.
Kami satu pesawat, Qatar Airways, maskapai Qatar (negara Arab Teluk) yang pramugarinya orang bule, tanpa jilbab. Maskapai ini melayani lebih dari 100 rute penerbangan internasional. Garuda kebanggaan Indonesia tidak ada apa-apanya.
Setelah terbang hampir delapan jam dari Jakarta pukul 00.30 Selasa (3/7/2012) dini hari, subuh kami tiba di Doha. Waktu Doha lebih cepat empat jam dari Jakarta.
Saya dalam perjalanan menuju Moskow, Rusia, untuk menghadiri undangan Itar-Tass, kantor berita Rusia. Acaranya II World Media Summit.
Tahun 2009, World Media Summit digelar di Beijing, China. Ini forum para pemimpin redaksi, pengelola media, bahkan konglomerat media semacam Ruport Murdoch.
Di forum ini akan hadir dalam diskusi pimpinan puncak kantor berita Xinhua (China), Japan News Agency (Jepang), BBC (Inggris), Reuter. Ada pula New York Times dan News Corp dari Amerika Serikat. Saya diundang sebagai Editor in Chief Tribunnews.com.
Si teman tadi akan bermalam di Doha sebentar, satu-dua hari, sebelum berkelana di kapal. Misinya adalah membawa para insinyur ahli minyak untuk mengendus potensi minyak lepas pantai di kawasan Teluk.
Tiga bulan lagi ia akan balik ke Jakarta, lalu libur sebulan penuh. Begitu seterusnya. Kerja tiga atau empat bulan, libur sebulan penuh. Gaji jalan terus, 2.000 dolar Amerika. Tiket pulang-pergi jadi tanggungan perusahaan.
Saya melanjutkan perjalanan ke Moskow setelah transit yang menyiksa di Bandara Internasional Doha. Menyiksa karena ruang merokoknya sangat pengab, sementara coffee shop tidak menyediakan tempat merokok.
“Mending ke Ethiopia. Di sana bebas merokok di bandara,” kata teman satunya, seorang pria berbadan subur. Ia orang Indonesia.
Orang Sunda ini transit di Doha, dan bersiap terbang ke Oslo, Norwegia. Dia juga seorang pelaut.
“Dari Berjen (kota kecil yang ditempuh 45 menit dengan pesawat dari Oslo), kami akan ke Kenya. Perjalanan ke sana dengan kapal sekitar tiga minggu atau sama dengan tiga kali Jayapura-Jakarta dengan kapal laut”.
***
PARA pelaut Indonesia, sebagian terbesar lulusan akademi pelayaran, adalah sisi lain diaspora Indonesia. Mereka orang Indonesia, berdarah Indonesia, bahkan masih memegang paspor Indonesia tapi bekerja di luar negeri.
Selama ini, Indonesia di luar negeri, terutama di Timur Tengah dan Malaysia, adalah pembantu. Karena pendidikannya yang rendah, kemampuan bahasa asing yang payah, orang-orang Indonesia lalu bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Sementara, para pekerja Filipina yang tidak masalah dengan bahasa Inggris bisa bekerja di tempat yang lebih necis seperti penjaga toko, pramuniaga, atau pelayan restoran.
Ini berbeda dengan di laut. “Pelaut Indonesia lebih berpendidikan dari orang Filipina. Di kapal saya, semua pimpinan, termasuk nakhoda, berasal dari Indonesia. Budak-budaknya dari Filipina,” kata anak muda tadi.
Dulu, kapal yang dioperasikan ini dikuasai orang Ukraina. Kapal ini sendiri kepunyaan perusahaan Singapura. Majikan Singapura mempekerjakan nakhoda orang Ukraina. Maka jadilah semua ABK orang Ukraina.
Ketika nakhoda berganti orang Indonesia, pekerjanya diambil semua –terutama di level nakhoda, mualim, dan kepala mesin-- dari Indonesia.
Dari Singapura, kapal itu berlayar ke Berjen, kota kecil di pesisir Norwegia. Para kru kemudian kumpul di sana sebelum melakukan ekspolarasi potensi minyak di lepas pantai.
Terkadang, kapal bersandar di Paris sehingga para kru akan terbang dari Jakarta ke Doha, lalu dari Doha ke Bandara Charles De Gaulle.
***
BAGAIMANA jaringan pelaut ini terbentuk? Ini sudah pasti cerita yang sudah lumayan lama. Anak muda dari Sunda tadi sudah bekerja di luar negeri lebih dari sepuluh tahun mengarungi laut di Asia, Timur Tengah, Eropa, dan Afrika.
Dia sudah berlayar dari Berjen, Norwegia, ke Kenya di Afrika Tengah. Kapalnya pun sudah masuk Paris dan kota-kota Eropa lainnya. Hanya Benua Amerika saja yang belum dia jelajahi.
Ada juga yang baru bergabung, seorang anak muda dari Makassar. Dia lulusan Balai Pendidikan dan Pelatihan Ilmu Pelayaran (BP2IP) Barombong di kawasan Tanjung Bunga.
Sebelum bergabung ke tim Oslo, dia hanya berlayar di kawasan Asia. Basisnya di Singapura. Keahliannya adalah mualim tiga. Tugasnya terkait keselamatan pelayaran. Pemadam kebakaran di atas kapal adalah tanggung jawabnya.
Anak muda Makassar ini mendapatkan jaringan Oslo melalui internet. Para pelaut atau calon pelaut mencari pekerjaan dengan menjelajali dunia maya.
Bantuan Mbah Google terasa sekali. Mereka sudah paham kata kunci apa yang digunakan di mesin pencari, menemukan alamat perusahaan yang membutuhkan pelaut, mengajukan aplikasi dalam bahasa Inggris, dan menunggu panggilan.
Begitulah. Internet menghubungkan para pelaut di seluruh dunia. “Sekarang ini hampir semua kapal sudah dilengkapi WiFi. Saya berkomunikasi dengan keluarga di rumah dengan Skype,” begitu kata anak muda Makassar itu.
Ada lagi seorang pelaut kelahiran Palopo, Sulsel, menikah dengan orang Parepare tapi tinggal di Bogor, Jawa Barat. Dia ini lulusan Akademi Maritim Indonesia (AMI) di Makassar dan merampungkan pendidikan lanjutan di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta tahun 1999.
Sejak itu ia bekerja di kapal di Singapura, tempat pemilik kapal dan para agen kapal internasional bermarkas. Lewat internet dia menemukan jaringan Oslo.
Bersama tiga temannya yang orang Indonesia, dia mengoperasikan kapal dengan misi membantu eksplorasi minyak lepas pantai di Afrika Tengah. Semua perwira kapal orang Indonesia, sementara rating (pegawai rendahan di kapal seperti olimen) semuanya dari Nigeria.
"Jarang ada perwira kapal dari Nigeria atau negara Afrika lainnya. Indonesia beruntung karena memiliki sekolah pelayaran yang bagus," katanya.
Kampus-kampus dan sekolah pelayaran memang bertebaran di beberapa kota di Indonesia. Di Semarang ada PIP, Politeknik Ilmu Pelayaran, sekolah tingginya, STIP, ada di Jakarta. Sedangkan di Makassar ada setidaknya tiga sekolah pelayaran, yakni BP2IP, AMI, dan AMIK.
Jelang pukul 08 waktu Doha, saya berpisah dengan para pelaut yang menjadi jutawan muda itu.
Mereka menuju Oslo, saya menanti penerbangan ke Moskow. Sambil menunggu jam boarding, saya merenung: barangkali kalau sekolah di Indonesia lebih baik maka bangsa ini tidak akan mengeskpor pembantu rumah tangga.
Pukul 18.55, Qatar Airways mendarat mulus di Demodedovo International Airport setelah terbang sekitar empat jam dari Doha. Suhu di bandara tersibuk di Rusia ini cukup bersahabat, 26 derajat Celcius.
Panitia II World Media Summit menunggu di persis di pintu ke luar bandara, menyediakan jemputan, dan membantu registrasi hotel.
Cara Gampang Jadi Kaya: Jadilah Pelaut
0 Response to "Cara Gampang Jadi Kaya: Jadilah Pelaut"
Posting Komentar