KOMPAS.com/IKA FITRIANA Nur Wulansari (tengah) memegang foto suaminya, Hery Martijanto, didampingi kedua putranya. Selasa (15/1/2013).
MAGELANG, KOMPAS.com — Air mata Nur Wulansari (39) tak terbendung tatkala menceritakan suaminya, Hery Martijanto (46), salah satu anak buah kapal (ABK) yang ditemukan tewas dalam tragedi tenggelamnya KM Tirta Samudera XXI di Perairan Karimun Jawa, Kamis lalu.
Wulan, panggilan Nur Wulansari, beserta kedua putranya, Airlangga Davega (12) dan Bintang Galaksi (7), tak menyangka, kabar kecelakaan kapal yang ia lihat di televisi adalah kapal yang ditumpangi suaminya. Tidak ada kejanggalan apa pun yang dirasakan Wulan sebelum keberangkatan suaminya pada Kamis (27/12/2012) lalu.
Namun, perasaan cemas yang tidak biasanya ia rasakan setelah lima hari tak mendapatkan kabar dari Hery sejak keberangkatannya. Dikisahkan Wulan, Hery mengubunginya pada Selasa (8/1/2013) melalui telepon seluler. Hery bercerita bahwa kapal tanker yang ditumpanginya dihadang oleh cuaca buruk. Bahkan, semua awak kapal kehabisan logistik. Kapalnya pun berulang kali mengalami kerusakan.
Dalam kondisi normal, perjalanan dari Palembang menuju Gresik hanya membutuhkan waktu lima hari. "Ada saja yang rusak, entah itu mesin kapal, jangkar, dan sebagainya. Cuaca buruk menghantui sepanjang perjalanan. Kapal mengalami kerusakan dan terpaksa sempat bersandar di Ujung Kulon, Banten. Suaranya dalam telepon menunjukkan ia begitu cemas," kata Wulan terbata-bata, Selasa (15/1/2013).
Sama sekali Wulan tak menyangka itulah percakapannya yang terakhir dengan Hery. Ia juga menyesali menolak keinginan suaminya untuk sekolah pelayaran lagi. Seandainya ia memberikan izin, mungkin suaminya tak mengalami musibah itu. Wulan menceritakan, almarhum menggeluti profesinya sebagai anak buah kapal sejak tahun 1992. Selama hampir 19 tahun, ia selalu berlayar ke luar negeri.
Pada tahun 2011, Hery berkeinginan untuk sekolah lagi. Namun, Wulan tidak mengizinkan dan akhirnya Hery memutuskan berlayar untuk kapal dengan perjalanan dalam negeri, sampai akhirnya Wulan dan kedua anaknya hanya dapat menyambut kedatangan suaminya dalam peti jenazah, Senin (14/1/2013), sekitar pukul 22.00 WIB.
Setelah sempat disemayamkan di rumah duka, jenazah langsung dimakamkan di pemakaman desa setempat pada pukul 23.00 WIB. Saat ditemui Kompas.com di rumahnya di Dusun Bangsren, Desa Krincing, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Wulan mengungkapkan kekecewaannya terhadap perusahaan pemilik KM Tirta Samudera XXI yang tidak segera menghubuginya ataupun keluarga setelah peristiwa kecelakaan itu.
Wulan justru mendapatkan kabar mengenai musibah itu dari media. Ia lantas mencari informasi melalui internet dan meminta adiknya, Wahyu Eka Nugraha (35), berangkat ke Rembang untuk mendapatkan kejelasan mengenai nasib suaminya. "Saya cemas setelah melihat televisi tentang musibah kapal suami saya, apalagi pemilik kapal pun tidak memberikan informasi atas musibah tersebut. Bahkan, saat itu, mengenai nasib suami, saya tidak tahu persis," kenang Wulan yang sehari-sehari berjualan pakaian ini.
Hingga kini, ungkap Wulan, meski jenazah sudah dikebumikan, pemilik kapal belum pernah mengunjungi atau setidaknya berbelasungkawa atas meninggalnya Hery. Bahkan, saat Wahyu Eka Nugraha datang ke Rembang pun, ia tidak mendapatkan informasi mengenai nasib kakak iparnya dari pemilik kapal. Informasi justru didapatnya dari Komandan Basarnas Semarang.
Pada saat proses pemindahan pun, menurut Wahyu, tak terlihat ada pihak perusahaan pemilik kapal yang menunggu. Namun, Wahyu mengaku sempat bertemu dengan pihak perusahaan pemilik kapal, setelah jenazah selesai dipindahkan. Dalam petemuan yang tidak lama itu, kata Wahyu, pihak perusahaan hanya menyampaikan permintaan maaf. "Tidak ada pembicaraan lebih. Mereka hanya minta maaf saja," kata Wahyu.
Wahyu menceritakan, kakak iparnya baru dapat diangkat pada Senin (14/1/2013) sekitar pukul 10.00 WIB, dengan dijemput Kapal Srikandi milik PLTU Sluke. Tiga orang berhasil dipindahkan. Satu orang selamat, dua orang lainnya, salah satunya kakak iparnya, ditemukan dalam keadaan tak bernyawa mengapung dalam sekoci.
Pihak Basarnas mengakui tidak mempunyai peralatan evakuasi dari jalur udara, meski sudah menerjunkan helikopter. "Semua biaya pengurusan dan perawatan jenazah kakak ipar saya murni dari keluarga sendiri," tandasnya lagi.
Keluarga Almarhum Hery meminta pertanggungjawaban dari pemilik kapal terhadap nasib keluarga korban. Bahkan, menurutnya, hingga pemakaman jenazah Hery, tidak ada sedikitpun kepedulian dari pemilik kapal. "Kami minta pemilik kapal bertanggung jawab. Hingga kini belum ada santunan maupun asuransi dari pemilik kapal. Kasihan kakak saya yang harus menghidupi kedua anaknya tanpa suami," pinta Wahyu.
Wulan, panggilan Nur Wulansari, beserta kedua putranya, Airlangga Davega (12) dan Bintang Galaksi (7), tak menyangka, kabar kecelakaan kapal yang ia lihat di televisi adalah kapal yang ditumpangi suaminya. Tidak ada kejanggalan apa pun yang dirasakan Wulan sebelum keberangkatan suaminya pada Kamis (27/12/2012) lalu.
Namun, perasaan cemas yang tidak biasanya ia rasakan setelah lima hari tak mendapatkan kabar dari Hery sejak keberangkatannya. Dikisahkan Wulan, Hery mengubunginya pada Selasa (8/1/2013) melalui telepon seluler. Hery bercerita bahwa kapal tanker yang ditumpanginya dihadang oleh cuaca buruk. Bahkan, semua awak kapal kehabisan logistik. Kapalnya pun berulang kali mengalami kerusakan.
Dalam kondisi normal, perjalanan dari Palembang menuju Gresik hanya membutuhkan waktu lima hari. "Ada saja yang rusak, entah itu mesin kapal, jangkar, dan sebagainya. Cuaca buruk menghantui sepanjang perjalanan. Kapal mengalami kerusakan dan terpaksa sempat bersandar di Ujung Kulon, Banten. Suaranya dalam telepon menunjukkan ia begitu cemas," kata Wulan terbata-bata, Selasa (15/1/2013).
Sama sekali Wulan tak menyangka itulah percakapannya yang terakhir dengan Hery. Ia juga menyesali menolak keinginan suaminya untuk sekolah pelayaran lagi. Seandainya ia memberikan izin, mungkin suaminya tak mengalami musibah itu. Wulan menceritakan, almarhum menggeluti profesinya sebagai anak buah kapal sejak tahun 1992. Selama hampir 19 tahun, ia selalu berlayar ke luar negeri.
Pada tahun 2011, Hery berkeinginan untuk sekolah lagi. Namun, Wulan tidak mengizinkan dan akhirnya Hery memutuskan berlayar untuk kapal dengan perjalanan dalam negeri, sampai akhirnya Wulan dan kedua anaknya hanya dapat menyambut kedatangan suaminya dalam peti jenazah, Senin (14/1/2013), sekitar pukul 22.00 WIB.
Setelah sempat disemayamkan di rumah duka, jenazah langsung dimakamkan di pemakaman desa setempat pada pukul 23.00 WIB. Saat ditemui Kompas.com di rumahnya di Dusun Bangsren, Desa Krincing, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Wulan mengungkapkan kekecewaannya terhadap perusahaan pemilik KM Tirta Samudera XXI yang tidak segera menghubuginya ataupun keluarga setelah peristiwa kecelakaan itu.
Wulan justru mendapatkan kabar mengenai musibah itu dari media. Ia lantas mencari informasi melalui internet dan meminta adiknya, Wahyu Eka Nugraha (35), berangkat ke Rembang untuk mendapatkan kejelasan mengenai nasib suaminya. "Saya cemas setelah melihat televisi tentang musibah kapal suami saya, apalagi pemilik kapal pun tidak memberikan informasi atas musibah tersebut. Bahkan, saat itu, mengenai nasib suami, saya tidak tahu persis," kenang Wulan yang sehari-sehari berjualan pakaian ini.
Hingga kini, ungkap Wulan, meski jenazah sudah dikebumikan, pemilik kapal belum pernah mengunjungi atau setidaknya berbelasungkawa atas meninggalnya Hery. Bahkan, saat Wahyu Eka Nugraha datang ke Rembang pun, ia tidak mendapatkan informasi mengenai nasib kakak iparnya dari pemilik kapal. Informasi justru didapatnya dari Komandan Basarnas Semarang.
Pada saat proses pemindahan pun, menurut Wahyu, tak terlihat ada pihak perusahaan pemilik kapal yang menunggu. Namun, Wahyu mengaku sempat bertemu dengan pihak perusahaan pemilik kapal, setelah jenazah selesai dipindahkan. Dalam petemuan yang tidak lama itu, kata Wahyu, pihak perusahaan hanya menyampaikan permintaan maaf. "Tidak ada pembicaraan lebih. Mereka hanya minta maaf saja," kata Wahyu.
Wahyu menceritakan, kakak iparnya baru dapat diangkat pada Senin (14/1/2013) sekitar pukul 10.00 WIB, dengan dijemput Kapal Srikandi milik PLTU Sluke. Tiga orang berhasil dipindahkan. Satu orang selamat, dua orang lainnya, salah satunya kakak iparnya, ditemukan dalam keadaan tak bernyawa mengapung dalam sekoci.
Pihak Basarnas mengakui tidak mempunyai peralatan evakuasi dari jalur udara, meski sudah menerjunkan helikopter. "Semua biaya pengurusan dan perawatan jenazah kakak ipar saya murni dari keluarga sendiri," tandasnya lagi.
Keluarga Almarhum Hery meminta pertanggungjawaban dari pemilik kapal terhadap nasib keluarga korban. Bahkan, menurutnya, hingga pemakaman jenazah Hery, tidak ada sedikitpun kepedulian dari pemilik kapal. "Kami minta pemilik kapal bertanggung jawab. Hingga kini belum ada santunan maupun asuransi dari pemilik kapal. Kasihan kakak saya yang harus menghidupi kedua anaknya tanpa suami," pinta Wahyu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar