Marine Surveyor & Inspection Services

0812-701-5790 (Telkomsel) Marine Surveyor PT.Binaga Ocean Surveyor (BOS)

0812-701-5790 (Telkomsel) Marine Surveyor PT.Binaga Ocean Surveyor (BOS)
Marine Surveyor

Revisi UU Pelayaran Menguntungkan Asing?

Revisi UU Pelayaran Menguntungkan Asing?


Indonesia yang merupakan negara kepulauan, tentu saja memerlukan alat transportasi laut untuk menghubungkan berbagai pulau. Selain untuk angkutan penumpang, transportasi laut cukup efektif untuk melayani angkutan cargo. Belakangan ini para pengusaha dan pemilik kapal angkutan laut merasa terusik dengan pemerintah yang ingin merivisi Undang-undang No 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Nasional. Padahal Undang-undang tersebut sudah cukup untuk menerapkan azaz cabotage.

Wakil Ketua Bidang Angkutan Laut Indonesian National Ship-owners Association (INSA), L Sudjatmiko menilai dengan revisis Undang-undang pelayaran Kemeterian Perhubungan tidak melindungi pengusaha dalam negeri. Pasalnya, pemerintah mengusulkan di kelompok C ada empat jenis kapal yang masuk dalam revisi Undang-undang Pelayaran. Empat jenis  kapal itu yang dimaksud kapal penunjang kegiatan offshore. “Padahal empat jenis kapal tersebut di Indonesia sudah ada. Nah, ini yang kita tolak,” ujar Sudjatmiko kepada Indonesia Maritime Magazine.

Lanjut Sudjatmiko, seharusnya Kementerian Perhubungan memiliki data lengkap kapal di Indonesia. “Jadi buat apa dimasukan empat jenis kapal tersebut ke dalam revisi UU. Sama saja pemerintah pro terhadap pengusaha dalam negeri, dan hanya mementingkan pihak asing,” tegas Sudjatmiko.

Jika pihak asing masuk dalam bisnis pelayaran, kata Sudjatmiko, sama saja pemerintah mematikan pengusaha dalam negeri. Pasalnya, pengusaha asing itu hanya dikenakan PNBP. (Penerimaaan Negara Bukan Pajak). Sementara, untuk pengusaha dalam negeri sudah dibebani biaya pajak yang tinggi.
“Dampak yang lain, seperti kami punya kapal bagus tapi belum tentu menang tender di negara lain. Tapi, di Malaysia pemerintahnya mampu melindungi pengusaha dalam negerinya. Kenapa di Indonesia tidak bisa,” tanya Sudjatmiko. 

Masih kata Sudjatmiko, revisi terhadap aturan bertajuk Penyederhanaan Prosedur Pengadaan Kapal dan Penggunaan/Penggantian Bendera Kapal itu merupakan salah satu celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk mengakomodasi ketidaksiapan kapal offshore (lepas pantai) kelompok C dalam memenuhi ketentuan cabotage atau penggunaan bendera merah putih.

Menurut UU No. 17 Tahun 2008, kapal kelompok C-yaitu  jack up rig, MODU (mobile offshore driU-ing unit), drill ship, seismic 3D, dan contruction ship-harus memenuhi ketentuan cabotage paling lambat 7 Mei 2011. “Untuk yang satu ini kami juga tau diri. Karena kapal jenis kelompok C ini jumlahnya sedikit,” akunya.
Yang jelas, katanya, banyak cara lain yang bisa dilakukan pemerintah untuk memastikan kapal kelompok C tersebut bisa beroperasi dalam rangka pencapaian target lifting minyak, tanpa harus melanggar asas cabotage. Menurut dia, alasan target lifting minyak dapat terancam karena pelaksanaan asas cabotage belum terbukti secara empiris, padahal masih ada penyebab lain yang menjadi faktor lebih dominan atas gagalnya pencapaian target lifting.

“Itu hanya alasan yang dicari-cari untuk merevisi UU Pelayaran tanpa melihat secara nyata pertumbuhan jumlah kapal niaga nasional dalam kurun waktu 5 tahun terakhir yang mencapai 63 persen,” katanya.
Padahal ada potensi sektor usaha yang kini sedang berjuang memenuhi tenggat waktu pelaksanaan roadmap asas cabotage secara penuh demi tegaknya bendera merah putih yakni pelayaran nasional. Cabotage sangat penting karena nilai devisa negara yang akan terselamatkan lewat program ini tidak sedikit, bahkan mungkin lebih besar dibandingkan dengan dampak perdagangan bebas ke sektor industri dalam negeri,yang  di perlukan sekarang adalah konsistensi dalam implementasi nya. “Seharusnya lah kita melangkah ke tahap berikut nya beyond cabotage,” imbuhnya.
Selain itu, sejak program itu dimulai, sektor ini digadang-dagang oleh pemerintah untuk menjadi salah satu “senjata” dalam menegakkan kedaulatan bangsa dan negara, tetapi instrumen-instrumen yang lainnya seakan berjalan sendiri-sendiri justru karena kurangnya dukungan dari lembaga-lembaga pemerintah sebagaimana yang diamanatkan. Akibatnya, kebijakan nasional asas cabotage tidak mudah melenggang dalam mencapai target.

Cabotage di Indonesia di tandai dengan terbitnya instruksi presiden (Inpres) No.5 tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Maritim Nasional pada Maret 2005. Kemudian dilanjutkan dengan keluarnya KM No.71 tahun 2005 dan UU No.17 tahun 2008 tentang Pelayaran. Sejak saat itu, investasi di sektor pelayaran terus menggeliat. Jumlah kapal niaga nasional telah mencapai hampir 10.000 unit, atau terjadi penambahan armada hingga 3.268 unit atau 54,1persen dibandingkan tahun 2005. Seiring dengan pertumbuhan armada niaga nasional, jumlah muatan kapal berikut ongkos angkutnya yang bisa beralih dari pelayaran asing ke Indonesia juga naik dari 55,5 persen pada 2005 menjadi 90,2 persen.
Pada akhir tahun ini, atau selambat-lambatnya Mei 2011, kegiatan pengangkutan jasa pelayanan kapal di dalam negeri sudah  harus sepenuhnya menggunakan kapal berbendera merah putih sehingga tidak ada ongkos jasa angkut dari domestik yang mengalir ke luar. Sudah seharus nya pemerintah beserta semua stakeholders mengusung semangat optimisme yang sama untuk mencapai target tersebut walau disadari masih adanya resistensi dari sementara pihak.

Belajar dari pengalaman penerapan asas cabotage, meskipun terlambat, tetapi keberhasilan program ini telah membuka mata semua stakeholders untuk memanfaatkan secara maksimal potensi pendapatan untuk negara. Sudah seharusnyalah, setelah cabotage berhasil dilaksanakan, pemerintah mendukung pelayaran untuk merebut pangsa muatan ke luar negeri (beyond cabotage) supaya arus devisa negara yang keluar dari ongkos angkut dapat dinikmati bangsa dan negara. “Untuk azas cabotage di kami (INSA) udah selesai tidak ada yang perlu didebatkan lagi,” kata Sudjatmiko.

Oleh karena itu, kata Sudjatmiko, saat ini merupakan waktu yang tepat untuk membicarakan beyond cabotage mengingat kegiatan ekspor komoditas  migas, hasil pertambangan seperti batu bara, perkebunan, crude palm oil (CPO) dengan volume hingga mencapai 500 juta ton per tahun hingga  kini masih dikuasai oleh perusahaan pelayaran berbendera asing. Sekedar gambaran, dari ekspor batubara dengan volume 220 juta ton per tahun, Indonesia kehilangan potensi devisa hingga mencapai US$4,4 miliar. Asumsi ini berdasarkan perhitungan biaya angkut dari Indonesia ke kawasan regional termasuk China yang rata-rata US$ 20 per ton.
Seharusnya tidak sulit bagi bangsa ini utk mendapatkan haknya atas kesempatan pengangkutan komoditas nya sendiri. mengingat bahwa pemilik muatan-muatan tersebut bangsa ini juga. Hal yang ironis adalah sementara kita kehilangan devisa sebaliknya bank-bank  lokal di Indonesia mengalami kesulitan menyalurkan dananya di sektor riil. Mengingat defisitneraca pembayaran jasa di Indonesia pada 2009  mencapai US$14,2 miliar, sudah seharusnya pemerintah segera menerapkan sebuah policy untuk merebut pangsa dalam rangka beyond cabotage.

“Pertanyaan yang harus dijawab mengapa bukan sektor pelayaran yang diberdayakan secara sungguh-sungguh, dan defisit neraca pembayaran jasa ini yang kita coba tutup dengan berbagai program menarik,” ujarnya.
Padahal dari sini banyak sektor yang akan tumbuh karena semakin kecil defisit yang bisa ditutup, semakin besar muptiplier effect ekonomi yang dihasilkan. Industri galangan, komponen, perdagangan dalam negeri maupun ekspor dan impor akan terimbas positif jika masalah ini berhasil ditutup oleh pemerintah.

Pemerintah Kalah Sebelum Perang
Sementara itu, Pengamat Hukum Laut Chandra Motik Djemat, menilai pemerintah tidak konsisten dan konsituen dalam penerapan azas cabotage. Pasalnya, menurut Chandra Motik, pemerintah lebih memberikan ruang terhadap pengusaha asing dibanding pengusaha dalam negeri. Chandra Motik mencontohkan di negara China dalam menerapkan azas cabotage, pemerintah China melindungi pengusahanya, mulai dari industri galangan kapal, transportasi lautnya hingga tenaga kerjanya harus negara asalnya. “Seharusnya dalam menerapkan azas cabotage ini pemerintah dapat meniru seperti di China. Yang adakan azas cabotage di Indonesia setengah hati,” kata Penasehat Ahli Kepala Staf Angkatan Laut Bidang Maritim ini. 

Menurut Chandra Motik, penerapan azas cobatage merupakan salah satu bentuk kedaulatan negara pada bidang ekonomi melalui kegiatan pengibaran bendera Merah Puith diatas kapal yang berlayar di dalam negeri. Untuk hasil Offshore, kata Chandra Motik, bisa saja perusahaan luar negeri yang memiliki perangkat dan kapal offshore mengoperasikan di Indonesia asalkan melakukan joint venture dengan pihak pelayaran nasional, agar perangkat dan kapal offshore tersebut dialih benderakan atau pemerintah memberi kelonggaran penggunaan bendera nasioanl pada kapa-kapal off shore. “Jadi tidak ada yang harus dirubah dengan UU Pelayaran, dan pihak asing bisa menjalankan kapalnya di Indonesia,” cetus Chandra Motik.
Persoalannya, kata Chandra Motik, perlunya ketegasan dari pemerintah untuk menerapkan UU Pelayaran. Saat ini penerapan azas cabotage belum diterapkan untuk muatan offshore, tetapi sudah mau direvisi. Hal ini menandakan pemerintah tidak yakin dan tidak punya komitmen dalam menerapkan azas cabotage, tetapi lebih suka menggunakan perangkat dan kapal berbendera asing.

“Mereka sudah ratusan tahun (perangkat off shore) di Indonesia melakukan eksplorasi minyak di laut Indonesia, kok kita nggak mau memulai mengelolah sendiri. Melalui UU Pelayaran sebenarnya merupakan usaha kita agar eksplorasi minyak di laut juga bisa dilakukan putra-putri bangsa Indonesia. Tapi malah kita kalah sebelum perang, jika harus merevisi UU pelayaran,” ungkap Chandra Motik. 

Dalam pelaksanaan azas cabotage belum dapat dilaksanakan secara konsekuen, khususnya pada kegiatan eksplorasi migas. Padahal kebutuhan kapal migas semakin lama terus bertambah.
Beberapa jenis kapal kegiatan migas yang belum ada atau belum tersedia berbendera Indonesia adalah kapal untuk kegiatan survei migas, pengeboran, konstruksi lepas pantai dan penunjang operasi lepas pantai. Ketersediaan kapal tersebut sulit dipenuhi dari kapal berbendera Indonesia karena pengadaannya membutuhkan investasi yang cukup besar, teknologi rumit, jumlahnya di dunia terbatas.

Berdasarkan data Kemenhub, Hingga tahun 2015 kapal untuk kegiatan migas yang belum tersedia diperkirakan berjumlah 235 unit, antara lain untuk kegiatan survei 16 unit, pengeboran 55 unit dan penunjang operasi lepas pantai sebanyak 120 unit. Kapal itu juga harus berbendera Indonesia.
Pemerintah dan DPR saat ini sedang membahas rencana merevisi Undang-Undang Pelayaran. Landasaran yuridis dari Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran adalah UUD RI Tahun 1945, Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. 

Sebagai pelaksanaan RUU tentang Perubahan Atas UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pemerintah telah menyiapkan Peraturan Menteri Perhubungan yang akan mengatur mengenai kapal jenis tertentu. Kapal yang digunakan untuk kegiatan eksporasi dan eksploitasi migas di perairan atau lepas pantai masih dapat menggunakan kapal asing.

0 Response to "Revisi UU Pelayaran Menguntungkan Asing?"

Posting Komentar

Program Perhitungan Minyak Petroleum Create your own banner at mybannermaker.com!
bisnis tiket pesawat online Peluang Bisnis Tiket Pesawat
Draft Survey Software untuk Pelaut

cek tiket pesawat murah