JAKARTA: Hingga saat ini, nasib tujuh pelaut perikanan Indonesia yang hilang di perairan utara Jepang, belum diketahui pasti. Namun 4 pelaut lainnya yang ditemukan selamat dan kini masih dirawat di sebuah rumah sakit di Pulau Shakalin, Rusia, kondisinya berangsur membaik.
Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) mencatat terdapat 11 Pelaut Indonesia yang bekerja di Kapal Penangkap Ikan Shans 101 yang tenggelam di sebelah timur daerah Svetlaya Village, kawasan Primorye, Rusia pada Minggu (27/1).
“Kondisi keempat pelaut Indonesia itu kini berangsur pulih setelah mengalami hiportemia akibat cuaca ekstrim saat kapalnya tenggelam dihantam ombak besar di tengah suhu antara minus 6-8 derajat,” kata Presiden Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) Hanafi Rustandi, kepada Bisnis hari ini Minggu (3/2).
Mengutip laporan dari organisasi pelaut Rusia, kata Hanafi, kecil kemungkinan ke-7 pelaut Indonesia yang hilang itu bisa ditemukan selamat, mengingat cuaca di perairan utara Jepang itu hingga sekarang tetap ekstrim dengan suhu minus yang sangat dingin.
Dia mengatakan, 11 pelaut Indonesia yang menjadi awak kapal perikanan Rusia ‘Shans-101’ tenggelam di laut dekat pulau Svetlaya, Rusia Timur, akibat kapal penangkap ikan itu dihantam dua gelombang besar di tengah cuaca yang sangat ekstrim.
Kapal ikan berbendera Rusia milik perusahaan perikanan Vostok-I Fishing Company itu diawaki 30 orang, terdiri dari 19 orang warga negara Rusia dan 11 orang pelaut Indonesia.
Menurut Hanafi, ke-4 pelaut Indonesia yang selamat adalah Ferry Seftianto, Abdul Muhamad Muksin, Karyana dan Nurhasim. Sedang ke-7 pelaut yang hingga kini belum diketemukan adalah Hendra Scorpianto, Agustinus Sitaniapessy, Medi Setiawan, Daskunah, Zaenal Arifin, Adi Pamuji, dan Puji Sulistiawan.
Hingga saat ini KPI belum mengetahui crew agent yang mengirim dan menempatkan pelaut Indonesia di kapal perikanan Rusia itu. “ Namun dari hasil investigasi oleh organisasi pelaut Rusia diperoleh keterangan bahwa ke-11 pelaut Indonesia itu bergabung ke kapal ikan Rusia melalui pelabuhan Pusan, Korea Selatan,” ungkapnya.
Dari pelabuhan ini, pelaut Indonesia kemudian diangkut dengan sebuah kapal ikan lain ke tengah laut untuk ditempatkan di kapal Shans-101. “KPI belum mengetahui bagaimana oleh siapa para pelaut ini direkrut dan ditempatkan kekapal, termasuk bentuk perlindungannya, yaitu apakah mereka mempunyai PKL(Perjanjian Kertja Laut) atau tidak. Dan apabila ternyata perekrutan dan penempatan mereka dikapal tanpa melalui prosedur resmi maka dapat dikategorikan sebagai korban human trafficking ,” tegasnya.
KPI, kata dia, terus melakukan koordinasi dengan organisasi pelaut Rusia untuk mengetahui perkembangan kasusnya. Dalam kasus ini, KPI mendesak pemerintah untuk menelusuri proses penempatan pelaut tersebut.
Hanafi yang juga Chairman International Transport worker’s Federation (ITF) Asia Pasifik itu menegaskan, kasus ini harus dibuka agar masyarakat, khususnya keluarga korban di Indonesia bisa mengetahui persis kondisi pelaut yang mengalami naas tersebut. “Kalau terbukti terjadi pelanggaran, pemerintah harus segera menindak tegas crew agent tersebut,” paparnya.
Banyaknya kasus pelanggaran dalam pengiriman pelaut ke luar negeri yang terus berulang, menurut Hanafi, menunjukkan pemerintah melakukan pembiaran terhadap pelanggaran yang merugikan pelaut.
Padahal, kata Hanafi, Undang-Undang Pelayaran No: 17 Tahun 2008 dan juklak-nya dalam Peraturan Pemerintah No: 20 Tahun 2010 secara jelas memberikan kewenangan kepada Menteri Perhubungan untuk membuat tata aturan perizinan ship manning agency serta prosedur perekrutan dan penempatan Pelaut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar