MENGENANG TRAGEDI DI LAUT ARU
Operasi Trikora untuk merebut Irian Barat, yang merenggut nyawa Komodor Yos Sudarso dan banyak anggota TNI-AL di Kepulauan Aru, 15 Januari 1962, sempat menjadi lembaran kelam sejarah angkatan bersenjata kita. Kini saatnya untuk melihat dengan lebih jernih bahwa pihak TNI-AU, yang dituding sebagai penyebab tragedi karena ketidaksiapannya ikut operasi gabungan itu, tak sepenuhnya patut disalahkan.
Peristiwa di Kepulauan Aru, 15 Januari 1962, sebenarnya telah lama terkubur dalam kotak kenangan “Sejarah AURI/TNI-AU”. Di masa Orde Baru sempat mengemuka kembali karena komentar mantan Ketua DPA Laksamana TNI (Purn.) Sudomo bahwa AURI ternyata tidak siap menghadapi Operasi Trikora. Pernyataan itu menyengat para sesepuh TNI-AU yang sebelumnya – sejak pendiri dan Bapak AURI Laksamana Suryadarma, KSAU sejak 1946, dipaksa mengundurkan diri dari jabatannya pada 19 Januari 1962 sebagai bukti “kesalahannya” dalam tragedi Aru – lebih banyak diam.Generasi muda TNI-AU pun bertanya-tanya, apakah sedemikian “berdosa” korps dirgantara yang mereka masuki? Tidakkah semua terjadi karena kekacauan politik pada masa itu? Apakah tidak ada “kesengajaan” mendiamkan sebuah peristiwa tertutup kabut tebal sehingga pihak yang mestinya bertanggung jawab bisa bersembunyi dari kesalahan?
Kisah ini dihadirkan kembali bukan untuk menciptakan permusuhan baru, masalah baru, melainkan untuk memberi gambaran yang lebih jelas agar wawasan para prajurit menjadi lebih luas.
Bukan operasi gabungan
Peristiwa Aru bermula dari suatu operasi rahasia untuk menyusupkan sukarelawan suku Irian yang telah dilatih oleh TNI-AD ke Irian Barat. Komando Trikora memang sudah terbentuk, namun misi tersebut dilaksanakan bukan dalam konteks operasi gabungan. Komando berdiri sendiri sebagai task force dengan misi tertentu.
Hampir semua kekuatan yang akan dilibatkan dalam Operasi Trikora belum siap. Bahkan semua kekuatan udara masih stand by di Jawa. Namun ternyata Angkatan Darat telah mendahului dengan melakukan penyusupan sukarelawan. Untuk melaksanakan misi itu, AD minta bantuan ALRI untuk mengangkut pasukan dari Jakarta menuju pantai Irian. Sedangkan AURI hanya diminta mengerahkan dua pesawat Hercules untuk mengangkut pasukan dari Jakarta menuju target yang nantinya ditentukan oleh ALRI.
Karena misi itu sangat rahasia, di Mabes AURI hanya beberapa petinggi yang mengetahui. Walaupun nyatanya tidak rumit, hanya mengangkut pasukan ke sebuah pangkalan di dalam negeri dengan terbang rendah. Batas tugas AURI hanya memindahkan pasukan dengan Hercules, selebihnya tidak menjadi tanggung jawab Mabes AURI.
Pada 12 Januari 1962, pasukan berhasil didaratkan di Letfuan. Kedua Hercules kembali ke pangkalan, dan AURI pun menjalankan tugas rutinnya. Namun tanggal 18 Januari muncul situasi yang kurang mengenakkan, saat ada pimpinan angkatan lain melapor ke Bung Karno bahwa tiadanya perlindungan dari AURI telah menyebabkan sebuah operasi gagal. Sampai saat itu pihak AURI belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang dimaksudkan operasi, dan apanya yang gagal?
Ternyata pada 15 Januari telah terjadi kontak senjata antara armada ALRI dengan AL Belanda di Laut Aru yang menyebabkan gugurnya Komodor Yos Sudarso dan prajurit-prajurit ALRI lainnya. Kalau dikatakan AURI tidak melindungi kapal beserta para prajurit ALRI, bukankah tugas AURI hanya mengangkut pasukan dengan dua Hercules dalam operasi penyusupan ke Irian?
Tidak ada kesalahan dalam peristiwa itu, namun AURI disalahkan. Padahal mereka yang tahu rumitnya mengkoordinasikan operasi udara, apalagi dengan pengeboman untuk melindungi kapal perang, pasti akan berpikir seratus kali lipat untuk menudingkan kesalahan seperti itu. Tapi begitulah. Orang yang tidak tahu, dan tidak mau tahu, telah menudingkan kesalahan – dan pemegang kekuasaan tertinggi pun membenarkan.
Yos Sudarso kobarkan semangat tempur
Hari H untuk pelaksanaan operasi penyusupan adalah Senin, 15 Januari 1962. Pada H minus tiga (-3), semua kapal ALRI telah merapat di rendezvous point di sebuah pulau di Kepulauan Aru. Pasukan yang sudah diturunkan dari Hercules AURI juga sudah diangkut kapal dari Letfuan menuju pulau tersebut. Pada hari pertama di titik itu, pesawat-pesawat Belanda sudah datang mengintai. Hal yang sama terjadi pada H -2 dan H -1.
Hari H pukul 17.00 waktu setempat, tiga kapal mulai bergerak. KRI Harimau berada di depan, membawa antara lain Kol. Sudomo, Kol. Mursyid, dan Kapten Tondomulyo. Di belakangnya adalah KRI Macan Tutul yang dinaiki Komodor Yos Sudarso. Sedangkan di belakang adalah KRI Macan Kumbang.
Menjelang pukul 21.00, Kol. Mursyid melihat radar blips pada lintasan depan yang akan dilewati iringan tiga kapal itu. Dua di sebelah kanan dan satu di kiri. Blipstersebut tidak bergerak, menandakan kapal-kapal sedang berhenti. Ketiga KRI kemudian melaju. Tiba-tiba terdengar dengung pesawat mendekat, lalu menjatuhkan flare yang tergantung pada parasut. Keadaan tiba-tiba menjadi terang-benderang, dalam waktu cukup lama. Tiga kapal Belanda yang berukuran lebih besar ternyata sudah menunggu kedatangan ketiga KRI. Kapal Belanda melepaskan tembakan peringatan yang jatuh di samping KRI Harimau. Kol. Sudomo memerintahkan untuk balas menembak namun tidak mengenai sasaran. Komodor Yos Sudarso memerintahkan ketiga KRI untuk kembali. Ketiga kapal pun serentak membelok 180o. Naas, KRI Macan Tutul macet dan terus membelok ke kanan. Kapal-kapal Belanda mengira manuver berputar itu untuk menyerang mereka. Sehingga mereka langsung menembaki kapal itu. Tembakan pertama meleset, namun tembakan kedua tepat mengenai KRI Macan Tutul. Menjelang tembakan telak menghantam kapal, Komodor Yos Sudarso meneriakkan perintah, “Kobarkan semangat pertempuran!”
AURI berada dalam kondisi ditekan karena misi yang gagal itu. Orang mengira, kekuatan AURI mampu melayang-layang selamanya di udara dan mengawasi setiap jengkal wilayah RI. Negara superpower seperti AS pun tidak akan bisa melakukannya di era itu, apalagi kita. Bagaimana pesawat terbang melaksanakan misi bantuan serangan udara tanpa ada koordinasi sebelumnya? Bahkan operasi itu sendiri tidak pernah dibicarakan dengan pimpinan AURI. Namun saat gagal, kesalahan ditimpakan ke pihak AURI. Untuk mengakhiri polemik, KSAU Suryadarma mengundurkan diri pada 19 Januari 1962. AURI pun berduka cita.
Gagal namun dinilai heroik
Hari Sabtu, 20 Januari 1962, diadakan rapat di Istana Bogor yang dipimpin oleh Bung Karno, untuk mengangkat Laksamana Muda Omar Dhani sebagai KSAU yang baru. Setelah itu langsung diadakan brifing mengenai peristiwa Aru. Kolonel Mursyid sebagai komandan tim juga sudah kembali untuk memberikan paparan. Begitu paparan selesai, suasana di ruang rapat yang terletak di sayap kiri Istana Bogor itu jadi mencekam, serius, sepi, dan semua diam. Seakan-akan menikmati rasa kemenangan dan kepahlawanan. Yos Sudarso gugur, operasi gagal, namun dinilai heroik.
Keheningan kemudian dipecahkan oleh Presiden Soekarno. “Siapa yang mau tanya atau minta penjelasan?”
Ternyata, Omar Dhani satu-satunya yang bertanya, “Tadi dikatakan oleh Kolonel Mursyid bahwa hari H -3, H -2, H -1, bahkan pada hari H-nya sendiri sudah ada pesawat Belanda melakukan pengintaian di tempat rendezvous. Artinya, Belanda sudah tahu iring-iringan kapal kita. Sebagai seorang komandan, entah komandan regu, komandan batalyon, bahkan panglima angkatan sekalipun yang diberi tugas dengan target tertentu, dengan data dan info pada saat itu, kalau dalam melaksanakan tugasnya itu kemudian menemui situasi dan kondisi yang berbeda, apalagi bertentangan dengan data dan info yang ia dapatkan sebelumnya, mereka punya hak untuk mengubah taktik guna mencapai sasaran semula. Apakah pada misi tanggal 15 Januari itu dilakukan perubahan taktik? Yaitu, setelah jelas-jelas ada pengintaian pesawat Belanda yang terus-menerus?”
Kolonel Mursyid menjawab, “Tidak ada perubahan karena ….” Lalu hadirin diberondong dengan retorika yang menggebu-gebu tentang tugas negara, tuntutan dan kepentingan rakyat, kolonialisme dan imperialisme, bangsa dan tanah air, patriotisme, serta hal-hal lain, panjang lebar.
Bung Karno kemudian bertanya, “Bagaimana Omar Dhani?”
Lalu Omar Dhani menjawab, “Sudah, Paduka Yang Mulia.”
Rapat diskors dan semua menuju beranda untuk makan siang.
Setelah mengambil makanan, Bung Karno duduk di kursi rotan sendirian. Ia memanggil Omar Dhani agar duduk di sebelah kirinya dan bertanya, “Kamu kelihatannya belum puas dengan jawaban Mursyid. Mengapa?”
Omar Dhani menjawab, “Pertama, mereka tidak melakukan revisi rencana operasi, itu kecerobohan. Kedua, tiga kapal Belanda, kalau benar laporan Kolonel Mursyid, bukannya sedang patroli seperti yang diberitakan pers, tetapi mereka berhenti pada jalur pelayaran kapal kita. Maar we werden opgewacht, tetapi tiga kapal kita disanggong. Ini berarti rencana kita sudah bocor, dan bocornya bukan di Aru, tetapi di Jakarta. Bapak masih ingat peristiwa di Padang tahun dulu?”
Langsung Presiden Soekarno bilang, “Je hebt gelijk, kamu benar.”
Walau baru beberapa jam dilantik, ternyata Omar Dhani memiliki pengetahuan yang luas dan mampu memberikan analisis operasi yang tajam. Tidak salah bila dalam Operasi Dwikora Bung Karno nantinya memberi jabatan panglima kepadanya.
Setelah makan siang selesai, rapat dilanjutkan namun hanya seperempat jam. Presiden mengimbau agar pesan terakhir Komodor Yos Sudarso dilaksanakan dan kerahasiaan ditingkatkan. Kebocoran dalam peristiwa Aru sama sekali tidak disinggung.
Kebesaran Bung Karno
“Akan aku ceritakan kepadamu sesuatu yang belum pernah kuceritakan pada orang lain,” kata Omar Dhani beberapa saat setelah keluar dari penjara. Mantan KSAU itu menyadari bahwa Bung Karno telah mengambil keputusan yang tepat. Lebih mendahulukan kepentingan nasional daripada kepentingan angkatan, apalagi kelompok yang lebih kecil. Bung Karno telah dengan sangat jeli mengetahui bahwa Omar Dhani tidak puas dengan jawaban Kol. Mursyid, dan dengan cara elegan serta luwes memaksa Omar Dhani untuk menyatakan keputusannya.
Bung Karno tidak membongkar adanya kebocoran karena hal itu bisa menimbulkan rasa tidak enak antarangkatan. Bung Karno membiarkan suatu kegagalan dan kesalahan menjadi suatu tindakan yang heroik. Ia menjadikan teriakan tempur Yos Sudarso, “Kobarkan semangat pertempuran,” secara maksimal. Itulah kebesaran Bung Karno yang akhirnya bisa dimengerti para pimpinan AURI, yang sebenarnya tidak bisa menerima tuduhan yang sulit dimengerti itu. Sebagai ahli strategi militer, Bung Karno dengan cepat memanfaatkan kekalahan dalam satu pertempuran menjadi suatu kemenangan politis dan psikologis yang kemudian memenangkan peperangan.
Peristiwa Aru kemudian berlalu begitu saja. Sampai saatnya nanti orang bisa menilai, pengorbanan batin para pimpinan AURI di masa itu adalah wujud nyata sikap tertinggi dalam disiplin prajurit, yaitu loyalitas.
(Budhi “Phantom” Achmadi, jurnalis masalah Hankam, penerbang F-5 Tiger II TNI-AU)
dikutip dari Intisari, Bulan Juli 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar