Senin, 17 Oktober 2011

Aturan Jika Terjadi Tabrakan Kapal Di Perairan Dalam


PERATURAN TUBRUKAN KAPAL DI PERAIRAN PEDALAMAN
(Reglement ter voorkoming van aanvaring of aandrijving op de rivieren en binnenwateren in Indonesiƫ).
S.1914-226.
BAB I. KETENTUAN-KETENTUAN UMUM.
Pas. 1. Dalam peraturan ini yang diartikan dengan:
“kapal uap”: tiap kendaraan air yang digerakkan dengan tenaga uap (tenaga mekanik);
“kapal layar”: tiap kendaraan air yang menggunakan layar dan tidak sekaligus digerakkan dengan tenaga mekanik;
“kendaraan air”: tiap kapal, kendaraan air, dok, tongkang dan alat pengangngkutan air demikian;
“jalur pelayaran sempit”: tiap jalur pelayaran, yang lebarnya dapat dilayari kurang dari 125 m;
“bunyi lanjut”: tiap isyarat bunyi kuat yang lamanya sedikit-dikitnya 5 detik;
“bunyi pendek”: tiap isyarat bunyi kuat yang lamanya setinggi-tingginya 2 detik;
“perairan pedalaman”: danau-danau, terusan-terusan dan pelabuhan-pelabuhan buatan;
“siang hari”: waktu antara matahari terbit dan matahari terbenam;
“malam hari”: waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit.
Pasal 2.
(1) Peraturan ini berlaku bagi semua sungai dan perairan pedalaman di Indonesia, termasuk gerbang-gerbang dari laut di mana diletakkan anak pelampung atau rambu.
(2) Gerbang-gerbang dari laut di mana tidak diletakkan anak pelampung atau rambu termasuk daerah laut; berlaku di daerah itu. ketentuan-ketentuan Peraturan Tubrukan di Laut
(3) Ketentuan-ketentuan peraturan ini tidak berlaku bagi sungai-sungai atau perairan-perairan pedalaman tertentu, atau bagiannya, yang ditunjuk oleh Menteri.
Pasal 3.
(1) Di mana saja, jika dalam peraturan ini kepada kendaraan air dikenakan kewajiban-kewajiban, maka nakhoda atau yang menggantinya bertanggung jawab atas pelaksanaan kewajiban itu.
(2) Pada waktu melaksanakan peraturan ini nakhoda-nakhoda harus memperlihatkan syarat-syarat kecakapan pelaut yang baik, bila dalam keadaan-keadaan yang khusus, melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari ketetapanketetapan yang tercantum di dalamnya.
Pasal 4.
Kecuali pejabat-pejabat, yang berdasarkan ketetapan-ketetapan undang-undang berwenang untuk itu, maka dengan pengusutan pelanggaran-pelanggaran peraturan ini ditugaskan perwira-perwira Angkatan Laut, nakhoda-nakhoda kapal-kapal Direktorat Jenderal Perhubungan laut, Syahbandar-syahbandar ahli dan pandu-pandu.
BAB II. KETENTUAN-KETENTUAN TENTANG PEMASANGAN LAMPU LAMPU DAN SEBAGAINYA.
Pasal 5.
Ketentuan-ketentuan tentang pemasangan lampu-lampu dan sebagainya yang tercantum dalam Peraturan Tubrukan di Laut, kecuali penyimpanganpenyimpangan yang disebut di dalam pasal-pasal 6-9 di bawah ini berlaku juga terhadap sungai-sungai dan perairan-perairan pedalaman yang dimaksud dalam peraturan ini.
Pasal 6.
(1) Kapal-kapal uap, yang isi kotomya kurang dari 113,2 M3, jika sedang berlayar, tidak perlu memasang lampu-lampu, seperti yang ditetapkan bagi kapal-kapal berukuran sama yang digunakan dalam pelayaran di laut. Tetapi jika tidak memasang lampu-lampu itu, kapal-kapal itu harus memasang lampu-lampu berikut:
a. lampu puncak putih di atas tajuk sekoci, setidak-tidaknya berada di atas lampu-lampu samping yang berwarna hijau dan merah atau di atas lentera kombinasi sebagai gantinya; dan
b. jika melakukan pekerjaan tunda, lampu puncak putih kedua pada jarak tidak kurang dari 0,5 m dan tidak lebih dari 1 m bersusun vertikal satu sama lain di atas lampu puncak tersebut pada a.
(2) Kendaraan-kendaraan air yang lain dari kapal-kapal uap dan isi kotornya berukuran kurang dari 56,6 m3, bila ini mengenai tongkang yang panjangnya kurang dari 30 m, jika sedang berlayar, harus memperlihatkan lentera yang memanearkan cahaya putih yang terang dari tempat yang mudah kelihatan dari tempat sekitamya.
(3) Kapal-kapal nelayan yang sedang menangkap ikan, harus memasang lampu putih yang dimaksud dalam ayat di atas.
(4) Sekoci-sekoci dayung tidak perlu memasang lampu putih tersebut dalam ayat (2), tetapi diwajibkan menyediakan lentera yang siap untuk dipakai, yang memancarkan cahaya putih terang yang sudah menyala di bawah di dalam sekoci atau di selubungi, yang pada saat didekati oleh kapal lain, harus diperlihatkan pada waktunya dan di tempat yang mudah kelihatan.
Pasal 7.
(1) Kendaraan-kendaraan air yang bersandar, harus memasang lampu putih, dengan kekuatan nyala dan cara penempatan yang sama seperti diharuskan bagi kapal-kapal berlabuh yang panjangnya kurang dari 45 m.
(2) Menyimpang dari ketentuan dalam ayat tersebut di atas, kendaraan-kendaraan air yang ada di tempat sandar, tempat bongkar muat atau di jalur pelayaran, di mana pelayarannya dirintangi, yang diberi penerangan baik, tidak diharus kan memasang lampu-tampu.
Pasal 8.
(1) Kendaraan-kendaraan air yang kandas di jalur pelayaran atau yang tidak dapat bergerak dengan sempurna, sejauh mengenai kapal-kapal uap, harus memasang sebagai pengganti lampu puncak putih, dua lampt: merah yang bersusun vertikal satu sama lain, yang mudah kelihatan daii tempat sekitamya. Pada siang hari harus diperbhatkan dua bulatan berwama hitam atau tanda-tanda yang bersusun vertikal satu sama lain.
(2) Kendaraan-kendaraan air yang lain dari kapal-kapal uap yang isi kotornya berukuran kurang dari 56,6 m3, kalau hal ini mengenai tongkang, jika panjangnya kurang dari 30 m, dalam keadaan-keadaan yang disebut dalam ayat di atas, pada malam hari harus memperlihatkan lampu putih seperti dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) dan pada siang hari harus memberikan tanda dengan bendera putih.
Pasal 9.
(1) Tongkang yang panjangnya 30 m atau lebih, dan lebarnya kurang dari 6 m, yang sedang berlayar atau berhenti, kecuali jika teriadi keadaan seperti dimaksud dalam pasal 7 ayat (2), harus memasang lampu putih yang terang pada malam hari yang kelihatan ke daerah sekitarnya pada jarak sedikit-dikitnya 1 mil laut (dari 60 dalam l0), ditempatkan di ujung depan dan ujung belakang, pada ketinggian yang sama.
Tongkang yang sama panjangnya seperti disebut di atas, tetapi lebarnya 6 m atau lebih, dalam keadaan seperti disebut di atas, harus memasang lampu putih yang terang pada sisi kiri dan kanan dari ujung depan dan belakang, dengan demikian terdapat seluruhnya empat lampu putih yang ditempatkan pada ketinggian yang sama.
(2) Kapal-kapal pengisap lumpur, kapal-kapal keruk dan kapal-kapal kerja, jika sedang bekerja di atau dekat jalur pelayaran, harus memasang isyarat-isyarat seperti berikut:
a. jika jalur pelayaran hanya bebas pada satu sisi, maka pada sisi yang bebas itu, sejauh mungkin di luar bagian tengah kapal, pada siang hari dua bulatan hitam dengan garis-tengah sekurang-kurangnya 0,5 dan sebesar-besarnya 0,80 m, bersusun vertikal satu sama lain dengan jarak antara sekurang-kurangnya 0,50 dan sebesar-besarnya I m, bulatan terendah sedikit-dikitnya 3 m di atas badan kapal dan pada malam hari lampu merah dan kira-kira 1 m di bawahnya lampu putih, serendah-rendahnya 3 m dan setinggi-tingginya 6 m di atas badan kapal dan kecuali itu pada sisi jalur pelayaran yang tidak bebas sejauh mungkin di luar bagian tengah kapal, pada siang hari satu bulatan hitam dengan ukuran dan pada ketinggian yang sama dengan bulatan hitam teratas pada sisi lain itu, dan pada malam hari lampu merah pada ketinggian yang sama dengaii lampu merah pada sisi lain itu;
b. jika jalur pelayaran bebas pada dua sisi, maka pada tiap sisi, sejauh mungkin di luar bagian tengah kapal, pada siang hari dua butatan hitam dan pada malam hari lampu merah dengan di bawahnya lampu putih, segala sesuatu seperti diterangkan pada a;
c. jika jalur pelayaran tidak bebas pada dua sisi, maka pada siang hari pada tiap sisi satu bulatan hitam dan pada malam hari lampu merah pada ketinggian yang sama dengan bulatan hitam dan lampu merah teratas seperti disebut pada a.
Kecuali itu kapal-kapal tersebut, baik yang sedang berlayar, maupun yang sedang berhenti, harus memasang isyarat-isyarat yarkg ditentukan dalam peraturan ini bagi kapal-kapal yang ukuran dan jenisnya sama (S. 1940-129.)
(3) Kapal-kapal keruk, kapal-kapal kerja dan kapal-kapal demikian harus menandai semua jangkar, yang dilabuhkan di atau dekat jalur pelayaran dengan tong biru atau pelampung, pada malam hari dengan lampu yang menyala terang. Kewajiban ini, sejauh mengenai jangkar-jangkar sisi, dikenakan kepada semua kendaraan air yang melabuhkan jangkar-jangkar demikian di atau dekat jalur pelayaran (S. 1940-129.)
(4) Kerangka-kerangka kapal yang dapat menimbulkan bahaya bagi pelayaran, selekas mungkin oleh nakhodanya atau jika ia melalaikan hal ini, oleh Pemerintah atas biaya nakhoda tersebut, diberi tanda, dengan menempatkan rambu di atasnya yang selalu ada di atas permukaan air di atas atau dekat kerangka itu, pada siang hari bendera putih dan pada malam hari lentera bercahaya putih yang terang (Peraturan Tubrukan Kapal di Perairan Pedalaman pasal 20; Peraturan Bandar S. 1924-500 pasal 17).
BAB III. KETENTUAN KETENTUAN TENTANG KECEPATAN, MENYIMPANG, ISYARAT-ISYARAT BERLABUH DAN SEBAGAINYA.
Pasal 10.
Tiap kendaraan air selama berlayar diwajibkan mengadakan pengintaian jarak jauh, jika mungkin dari puncak tiang.
Pasal 11.
Jika disebabkan oleh kabut, hujan, tumbuh-tumbuhan tepi yang tinggi atau sebab-sebab lain sehingga penglihatan baik terhalang, maka kendaraan air itu menurut keadaan harus mengurangi keeepatannya atau berhenti.
Jika sedang berlayar, kapal harus memberikan isyarat-isyarat bunyi berikut:
a. kapal uap membunyikan satu bunyi lanjut dengan selang waktu tidak melebihi 2 menit, dan jika menunda kendaraan air atau tidak dapat bergerak dengan baik, membunyikan satu bunyi lanjut dengan selang waktu tidak melebihi 2 menit diikuti oleh dua bunyi pendek;
b. kapal layar yang isi kotornya berukuran 56,6 M3 atau lebih, membunyikan dengan selompret-kabut bunyi-bunyi pendek dengan selang waktu pendek atau memberitahukan kedatangannya dengan pemukulan gong;
c. kapal layar yang isi kotomya berukuran kurang dari 56,6 M3 dan tongkang, memukul gong atau membuat gaduh dengan cara lain.
(2) Pada waktu cuaca berkabut tebal, kapal-kapal layar dan tongkang dilarang berlayar, dan kapal-kapal uap tidak boleh berlayar melebihi kecepatan yang diperlukan untuk mengemudikan kapal.
(3) Kapal-kapal uap yang,berlabuh atau bersandar, kapal-kapal layar yang isi kotomya berukuran 56,6 M3 atau lebih dan tongkang yang panjangnya 30 m atau lebih, pada waktu cuaca berkabut tebal, baik pada siang hari maupun pada malam hari dan selanjutnya jika mendengar isyarat-isyarat bunyi dari kendaraan air lain yang mendekatinya, harus sedikit-dikitnya tiap menit membunyikan lonceng atau memukul gong atau membunyikan isyarat bunyi demikian. Bagi kendaraan lainnya dalam keadaan itu cukup dengan membuat gaduh, untuk menyatakan tentang kehadirannya.
Pasal 12.
(1) Di bagian-bagian yang lurus dari jalur pelayaran, jika hal ini dapat dilaksanakan dan dilakukan dengan aman, tiap kapal harus berlayar pada sisi jalur pelayaran yang ada di sisi kanannya.
Kapal uap di jalur pelayaran sempit boleh berlayar dengan kecepatan maksimum 7 mil laut, yang pada waktu terdapat arus dengan kekuatan luar biasa, harus dikurangi sampai 5 mil laut.
(2) Kendaraan air yang sedang bertayar, jika satu sama lain bertemu dengan haluan yang berlawanan, hingga akan terjadi bahaya tubrukan, maka untuk mencegah bahaya tersebut, kedua kapal harus menyimpang ke kanan dan melewati satu sama lain pada sisi kiri. Tetapi jika kendaraan air yang ditunda dari darat, bertemu dengan kendaraan air lain, yang tidak ditunda demikian dengan haluan yang berlawanan, maka kendaraan air yang ditunda berlayar di sebelah dalam dari kendaraan air yang tidak ditunda.
(3) Jika haluan-haluan dua kapal uap satu sama lain memotong sedemikian, sehinggajika bertahan tetap pada haluan-haluan itu dapat menimbulkan bahaya tubrukan, maka kapal uap yang melihat kapal uap lainnya di sisi kanannya, harus menyimpang.
(4) Jika kapal uap dan kapal layar mendekat satu sama lain dalam keadaarkkeadaan seperti dimaksud dalam ayat terdahulu, maka kapal uap harus tnenyimpang untuk kapallayar.
(5) Jika dua kapal layar mendekat satu sama lain dalam keadaan seperti dimaksud dalam ayat (3), maka kapal-kapal tersebut harus menaati aturan-aturan berikut:
a. kapal, yang berlayar dengan kekuatan penuh angin harus menyimpang untuk kapal layar yang berlayar dengan hanya sebagian dari kekuatan angin;
b. kapal layar yang mendapat angin dari sisi depan (haluan) harus menyimpang untuk kapal layar yang mendapat angin dari sisi belakang (buritan);
c. jika kedua kapal layar berlayar dengan kekuatan angin penuh, tetapi angin masuk dari sisi yang berlainan, maka kapal yang mendapat angin dari sisi kiri harus menyimpang untuk kapal yang mendapat angin dari sisi kanan;
d. jika kedua kapal layar berlayar dengan kekuatan angin penuh dan angin masuk dari sisi yang sama maka kapal layar yang berlayar dengan dorongan angin harus menyimpang untuk kapal yang berlayar melawan angin;
e. kapal layar yang berlayar dengan kekuatan angin dari belakang, harus menyimpang untuk tiap kapal layar lain.
Pasal 13.
(1) Kapal-kapal uap yang mendekati tikungan, harus membunyikan satu bunyi lanjut dengan selang waktu pendek, sedangkan kapal-kapal layar dan tongkang memberitahukan tentang kedatangannya dengan membunyikan lonceng kapat terus-menerus atau memukul gong atau membuat gaduh dengan cara lain.
(2) Kapal uap yang berlayar berlawanan dengan arah arus, pada waktu mendengar isyarat bunyi seperti dimaksud dalam ayat tersebut di atas, yang dibunyikan oleh kapal uap yang berlayar menurut arah arus, jika ada di dekat tikungan, sedapat mungkin harus tetap berlayar di sebelah hilir tikungan itu dan jika perlu mengurangi kecepatan atau berhenti, agar belokan yang besar bebas bagi kapal yang berlayar mengikuti arah arus.
Dalam keadaan ini kapal-kapal uap tersebut harus masing-masing membunyikan isyarat suling untuk memberitahukan sisi mana dari jalur pelayaran yang akan mereka gunakan, sampai kapal-kapal tersebut berpapasan satu sama lain dengan aman.
(3) Kapal uap yang berlayar menurut arah arus, pada waktu mengambil tikungan harus berlayar dengan kecepatan yang tidak melebihi yang diperlukan untuk mengemudikan kapal dengan baik, dan senantiasa harus berlayar dengan kecepatan yang tidak melebihi yang diperlukan untuk mengemudikan kapal dengan baik, dan senantiasa harus menyediakanjangkar-cemat yang siap untuk diturunkan di buritan.
Jika ada bahaya akan mengakibatkan kerusakan, kapal harus segera berhenti, jika perlu bergerak mundur dan harus beriabuh dengan jangkar-cemat, sampai kapal dapat berlayar terus dengan aman.
(4) Kapal-kapal uap yang isi kotomya berukuran kurang dari 30 m3 dan kapal-kapal uap yang menunda satu kendaraan air atau lebih, dibebaskan dari ketentuan dalam ayat tersebut di atas; tetapi kendaraan air yang ditunda harus menyediakanjangkar-cemat, untuk mencegah tubrukan dengan kapal yang menunda, jika kapal ini sekonyong-konyong terpaksa berhenti atau kandas.
(5) Kendaraan air yang lain dari kapal-kapal uap, jika ada di dekat tikungan, pada waktu didekati oleh kapal uap dari jurusan yang berlawanan, sebanyak diperlukan dan secepat-cepatnya mendekati daratan di sekitar tikungan itu, dan selama tidak ditambat pada daratan, pada malam hari harus memperlihatkan obor yang menyala terang pada sisi belokan jalur pelayaran.
(6) Jika dua kendaraan air yang lain dari kapal-kapal uap mendekat satu sama lain di dekat tikungan dari jurusan yang berlawanan, maka kendaraan air yang berlayar berlawanan dengan arus, harus bertindak menurut cara yang ditentukan dalam ayat tersebut di atas.
(7) Jika tidak ada arus atau hampir tidak ada arus, dalam penerapan pasal ini, kendaraan air yang menghilir dianggap sebagai berlayar mengikuti arah arus.
Pasal 14.
(1) Tiap kendaraan air yang menyusul kendaraan air lain, harus menyimpang untuk yang disusul.
(2) Jika dua kendaraan air berlayar dengan arah yang sama maka kendaraan air yang satu hanya boleh melalui yang lain, jika pada bagian yang lurus dari jalur pelayaran hal demikian dapat dilakukan tanpa adanya kemungkinan akan terjadi kerusakan dan kendaraan air yang datang dari arah yang berlawanan, tidak akan mendapat rintangan karenanya.
(3) Kendaraan air yang menyusul kendaraan air lain dan hendak melaluinya, pada jarak sedikit-dikitnya 200 m memberitahukan maksudnya dengan tandatanda, panggilan atau dengan bunyi lanjut. Jika perlu isyarat ini diulangi.
(4) Untuk melalui kendaraan air, kapal-kapal uap senantiasa harus menunggu, sampai kendaraan air yang disebut terdahulu telah memberi ruang cukup, untuk melaluinya tanpa kemungkinan terjadi kerusakan.
(5) Pada waktu melalui kendaraan air yang lambung-timbulnya rendah atau rumah-rumah kampung yang letaknya di luar garis tepi, kapal uap sebanyak mungkin mengurangi kecepatannya, sampai kendaraan air atau rumah-rumah dimaksud telah dapat dilewati.
(6) Kapal uap harus melalui kapal uap atau kapal layar pada sisi kirinya.
(7) Kapal layar harus melalui kendaraan air, yang dilalui pada sisi dorongan angin.
(8) Jika kendaraan air yang disusul dan yang harus dilalui ditunda dari darat, maka kendaraan air yang ditunda berlayar di sebelah dalam dari kendaraan air yang melalui.
(9) Pada waktu menyusul dan akan melalui kendaraan air yang ditunda dari darat oleh kendaraan air lain yang demikian juga, maka kendaraan air yang akan melalui, berlayar di sebelah dalam dan kendaraan air yang dilalui harus mengendurkan talinya pada waktu yang tepat.
(10) Kendaraan air yang disusul diwajibkan memberi ruang cukup pada kendaraan air yang menyusul dan jika menggunakan layar, menurut keadaan mengurangi kecepatannya.
Pasal 15.
(1) Dilarang menghanyutkan kendaraan air dengan arus, jika kendaraan air itu pada tiap saat yang dikehendaki tidak dapat dikemudikan,
(2) Di jalur pelayaran, di mana ada kabel telegram atau kabel telepon, maka pada waktu arus kuat atau banjir, kendaraan air yang isi kotornya berukuran lebih dari 11,32 M3 yang hanyut dengan arus, harus menggunakan jangkar garuk.
Pasal 15a.
Dicabut dg. S. 1939-544.
Pasal 16.
(1) Tiap kendaraan air, yang diwajibkan menyimpang untuk kendaraan air lain, jika keadaan mengizinkan, harus menghindari berlayar memotong haluan dekat kendaraan air lain itu.
(2) Tiap kapal uap yang menurut ketentuan-ketentuaii peraturan ini diwajibkan menyimpang untuk kendaraan air lain, bila mendekatinya, jika perlu, harus mengurangi kecepatan, berhenti atau mundur.
(3) Ketentuan yang ditetapkan dalam ayat tersebut di alas tidak berlaku bagi kendaraan air yang menunda.
Pasal 17.
(1) Kapal-kapal uap yang melihat pada saat saling mendekat satu sama lain kemungkinan bahaya tubrukan, dapat menunjukkan tempat kapal itu sedang bergerak dengan isyarat-isyarat berikut:
satu bunyi pendek berarti: “saya menyimpang ke kanan”.
dua bunyi pendek berarti: “saya menyimpang ke kiri”.
tiga bunyi pendek berarti: “saya mundur dengan daya penuh”.
Pasal 18.
(1) Kapal-kapal uap yang menunda satu atau beberapa kendaraan air harus menggunakan tah penarik yang pendek, danjika kapal-kapal itu datang dari laut, kabel-kabel penariknya harus dipendekkan.
(2) Tiap kendaraan air yang ditunda, diharuskan dengan hati-hati mengemudikan kapal itu untuk dapat menghindari penyimpangan dari arah yang ditentukan.
(3) Menunda kendaraan air di samping hanya dibolehkan dalam jalur pelayaran yang sempit, bila keadaan memang mengizinkan; pada tiap sisi hanya boleh ditarik satu kendaraan air. Untuk hal ini harus diusahakan, agar lampu-lampu kapal yang menunda jelas kelihatan. Bila hal itu tidak mungkin, dapat digunakan lentera-lentera dari dari kapal-kapal yang ditunda.
(4) Kapal uap harus mematikan mesinnya pada waktu masuk dari pinggiran atau menghindari kapal-kapal lain masuk ke laut.
Pasal 19.
(1) Dilarang menempatkan sauh di tengah jalur pelayaran pada tikungan atau jalur pelayaran yang sempit, kecuali dalam hal seperti disebutkan dalam pasal 13 ayat (3).
(2) Kendaraan air yang terpaksa menempatkan sauhnya pada tikungan atau jalur pelayaran yang sempit, harus menjaga supaya tidak membuang barang muatan atau menggunakan kabel-kabel untuk menghindari gerakan yang bolakbalik, dan sedapat mungkin memberikan tempat dijalur pelayaran bagi kendaraan air yang akan berlalu.
(3) Dalam hal tidak menaati ketentuan dalam ayat (1), harus dibuktikan perlunya berlabuh di tempat-tempat yang dilarang, untuk dapat dibebaskan dari tuntutan hukum.
Pasal 20.
Kendaraan air yang tenggelam dan benda-benda pada umumnya, yang ditempatkan di jalur pelayaran, yang menghalang-halangi lalu-lintas pelayaran, jika tidak diangkat oleh mereka dalam batas-batas waktu yang telah ditentukan oleh Pemerintah, diangkat atau disingkirkan oleh Pemeiintah atas biaya pemilik-pemilik. (Peraturan Tubrukan Kapal di Perairan Pedalaman pasal 9; Peraturan Bandar S. 1924-500 pasal 17.)
Pasal 21.
(1) Sejauh mengenai hal ini tidak ada ketentuan-ketentuan lain yang berlaku, maka di tiap kendaraan air yang berlabuh atau ditambat pada pelampung-pelampung, sedikit-dikitnya setengah dari awak kapal harus ada dan di tiap kendaraan air yang dikeringkan atau seluruhnya ditambat di daratan, sedikit-dikitnya satu pelayar atau nakhoda harus ada di kendaraan air untuk menjaganya. (S. 1924-501.)
(2) Ketentuan ini tidak berlaku bagi kendaraan air yang isi kotornya berukuran kurang dari 2,83 m3 dan bagi kendaraan air yang ditambat pada atau yang dikeringkan di tempat sendiri yang dijaga.
Pasal 22.
Dilarang membunyikan isyarat-isyarat bunyi dalain keadaan-keadaan lain dari yang ditentukan atau diizinkan menurut undang-undang.
BAB IV. KETENTUAN-KETENTUAN HUKUMAN.
Pasal 23.
Ayat (1), (2), (3) tidak berlaku lagi.
Pasal 24.
(1) Nakhoda atau orang yang menggantinya tidak dapat dihukum jika ternyata, bahwa ia telah melakukan semua yang mungkin, baik untuk menaati ketentuan-ketentuan peraturan ini, maupun untuk mencegah akibat-akibat pelanggaran ketentuan-ketentuan itu.
(2) Tidak berlaku dengan dihapuskannya pasal 23.
KETENTUAN-KETENTUAN PENUTUP.
Pasal 25.
Isi peraturan ini tidak menghalang-halangi pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan khusus, sehubungan dengan pelayaran di pelabuhan-pelabuhan, sungai-sungai dan perairan-perairan pedalaiman atau bagian-bagiannya, yang diboat atau akan dibuat oleh pejabat-pejabat setempat yang berkuasa (Peraturan Tubrukan di Laut pasal 31).
Pasal 26.
Peraturan ini disebut dengan nama “Peraturan Tubrukan Kapal di Perairan Pedalaman”.
Ditetapkan pada tanggal 22 Februari 1914.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar